Cari Blog Ini

Entri Populer

Minggu, 30 Oktober 2011

PERJUANGAN POLITIK MUSLIM MINORITAS (Studi Atas Muslim Minoritas Filipina Selatan)


La sendradea
Abstrak
            Umat Islam Filipina sudah ada sebelum datangnya penjajah. Mereka hidup damai dengan saudaranya yang tidak memeluk Islam. Filipina yang berbentuk kepulauan bukanlah hambatan untuk kedamaian walaupun dengan latar belakang pengalaman dan sejarah yang berbeda.
            Kemajuan yang diraih Filipina hari ini merupakan salah satu dampak kolonialisme ratusan tahun yang mereka alami. Kolonialisme memperkenalkan system politik, pendidikan, tekhnologi dan lain sebagainya. Di sisi lain, adanya perpecahan akut dan konflik internal golongan yang berkepanjangan tidak bias dinafikan sebagai akibat berbagai kebijakan colonial masa lalu.
            Umat Islam mengalami hari yang kelam ketika kebijakan-kebijakan tersebut meminggirkan mereka. Pemerintahan pasca-kolonial pun tidak jauh berbeda, bahkan menjadi konflik tak tuntas sampai sekarang ini. Sementara itu, umat Islam sendiri tak kunjung berbenah dan belajar dari masa lalu mereka. Konflik kepentingan dan ideology meruncing pada terbentuknya faksi-faksi.
            Memang, ada berbagai hal yang melatarbelakangi masalah ini. Ada kepentingan global-internasional, ideology hingga status quo. Satu hal yang pasti, umat Islam telah dipinggirkan dan hanya dengan bergandengan tangan mereka bias keluar dari lobang tersebut.

A.    Pendahuluan
Islamisasi melalui jalur damai atau penaklukan yang dilakukan muslim sejak abad VII membawa Islam menjadi faktor penting dalam proses pembentukan identitas masyarakat yang menganutnya. Identitas ini menyeruak tidak hanya dalam ikatan sosial-keagamaan, namun juga budaya dan politik.
Terbentuknya unit pemersatu politik di berbagai kantong muslim mempercepat proses terbentuknya identitas tersebut yang diikuti oleh adanya pengakuan dan tumbuhnya rasa kebersamaan.
Adanya benturan dengan Barat melalui kolonialisme dan imperialisme cenderung sulit dipertemukan karena kepentingan yang mendasarinya berbeda. Seringkali hal ini berada pada pilihan mengalahkan atau terkalahkan. Tarik menarik ini, secara tidak langsung, menyiratkan juga suatu interaksi take and give dengan tetap mempertahankan identitas masing-masing. Bahkan proses ini terus berlangsung setelah imperialisme usai.
Muslim Filipina Selatan mengalami hal tersebut. Mempertahankan diri dan keyakinan merupakan tema besar yang diperjuangkan selama proses tersebut berlangsung. Dinamika yang mewarnai adalah pasang surut perjuangan yang dipompa oleh sejarah dan ditempa oleh berbagai rintangan yang membawa pada kondisi dan pilihan dilematis.
Sejarah muslim Filipina Selatan, perlakuan dan pengalaman masa penjajahan serta keinginan mereka meneguhkan identitas mengalami kristalisasi dalam perjuangan yang terus dilakukan hingga setelah kemerdekaan.
Tarik menarik kepentingan secara internal, nasional dan internasional dalam perjuangan tersebut mewujud dalam kendala dan keuntungan yang berguna untuk membaca kondisi riil, sehingga menjadi sebuah altenatif solutif menanggulangi berbagai kelemahan yang ada. Dari perspektif ini, dinamika perjuangan muslim Filipina Selatan tersebut menjadi menarik.
Terlepas dari apapun bentuk keputusan akhir dari tarik menarik kepentingan ini, kaum muslim haruslah diprioritaskan. Bahwa disana ada peran elit politik, sosial dan ekonomi memang tidak terbantah, namun yang mengalami dan merasakannya adalah masyarakat kaum muslim. Oleh karena itu, memperjuangkan mereka berarti mendengarkan aspirasinya. Mendengarkan aspirasi mereka berarti mengerti kondisinya. Dan mengerti kondisi mereka berarti memahami keinginannya.
Hanya dengan berjalan seiring bersama masyarakatlah sebuah kekuatan bisa langgeng, karena hanya ia yang mampu keluar dari ujian sejarah.


B.     Filipina: Sebuah Gambaran
Filipina adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang terdiri dari ribuan pulau yang terbentang antara Samudera Pasifik dan Laut China Selatan. Ribuan pulau tersebut hanya sebagian kecil yang didiami, dan sebagian lagi belum  berpenghuni. Kondisi geografisnya beragam, dari daerah yang merupakan deretan pegunungan hingga yang merupakan dataran luas dengan hamparan hutan dan padang luas. Sebagai daerah dengan iklim tropis, Filipina mengandalkan hasil buminya yang melimpah. Dari hasil hutan sampai hasil cocok tanam, dari timah sampai minyak dan emas.
Kepulauan Filipina terdiri dari 7.000 ribu pulau dengan pulau Luzon dan pulau Mindanau sebagai yang terbesar. Oleh karena itu, secara geografis, Filipina terbagi menjadi dua, yaitu pulau Luzon dengan gugusan pulau lainnya di utara (Filipina Utara) dan pulau Mindanao dengan gugusannya di selatan (Filipina Selatan).
Gelombang besar migrasi dari Yunan, daerah Barat Laut China, ke Asia Tenggara mengalahkan penduduk asli wilayah ini, termasuk kepulauan Filipina. Yaitu, gelombang migrasi yang memunculkan rumpun Melayu di daerah ini. Pada masa selanjutnya, adanya Jalur Sutra Laut, yang kemudian membentuk jaringan perdagangan Asia Tenggara, mempercepat berkembangnya masyarakat baru tersebut. Dan sejak abad XI, Filipina sudah masuk dalam jaringan perdagangan Asia Tenggara ini.
Bentuk Filipina yang kepulauan dengan kehidupan masyarakatnya yang beragam memunculkan bentuk budaya dan tradisi yang beragam pula. Secara etno-linguitik Filipina terbagi menjadi berbagai jenis. Untuk Filipina Utara yang mayoritas Kristen kelompok terbesar, di antaranya, adalah Tagalog (mayoritas di pulau Luzon), Cebuanos (Bohol. Leyte dan sebagaian Mindanao), Ilocanos (sebagain Luzon), Bicolanos dan Pampangas.
Sedangkan untuk Filipina Utara yang mayoritas muslim, terdapat belasan kelompok etno-linguistik yang dianut masyarakat. Di antaranya yang terbesar adalah Maguindanao, Maranou, Iranum, Tausug, Samal dan Yakan. Begitu juga Jama Mapun, Kelompok Palawan (Palawani dan Molbog), Kalagan, Kolibugan dan Sangil.

C.    Islamisasi Filipina
Benda, sebagaimana yang dikutip Riswinarno, membagi  Asia Tenggara menjadi tiga wilayah sejarah kebudayaan. Yaitu, wilayah yang dipengaruhi  India (Indianized Southeast Asia), wilayah yang dipengaruhi China (Sinicized Southeast Asia), dan wilayah yang mendapat pengaruh Spanyol (Hispanized Southeast Asia).  Perspektif ini memang mendapat legitimasi kuat karena pengaruh kebudayaan-kebudayaan tersebut di Asia Tenggara masih ada sampai saat ini.
Namun demikian, perspektif ini mengabaikan pengaruh Amerika yang lebih menyeluruh dalam perilaku politik  walalupun menduduki beberapa tempat, terutama Filipina, dalam waktu yang tidak begitu lama. Eksistensi Islam sebagai agama terbesar di Indonesia, Malasyia dan Brunei Darussalam tidak bisa dinafikan juga begitu saja. Masyarakat Islam yang ada di Patani, Thailand dan Mindanao, Filipina yang sampai sekarang masih memperjuangkan eksistensi mereka sebagai masyarakat yang mempunyai identitas Islam berakar dari masa lalu yang panjang.
Kemunculan Islam pada abad VII di Timur Tengah dan penyebarannya yang massif pada abad-abad selanjutnya, sampai Asia Tenggara, termasuk Filipina, telah memberikan sumbangan besar dalam menemukan dan mempertahankan identitas mereka sebagai masyarakat. Di Filipina, Islam telah mencapai daerah ini dan mempunyai pengaruh besar di Filipina Selatan. Di Filipina Utara Islam juga tersebar terutama di daerah pesisir.
Sebelum terbentuknya kerajaan di wilayah ini, penguasa-penguasa tetangga seperti Johor dan Brunei Darussalam telah menancapkan pengaruhnya di daerah ini. Walaupun penguasaan ini hanya dalam sosial-ekonomi, namun tak pelak juga diikuti oleh pengaruh budaya. Wilayah tetangga yang sudah lebi dulu tersentuh Islam memberikan suatau gambaran bahwa, pada masa itu pula, Islam sudah dikenal oleh masyarakat Filipina. Menurut beberapa pihak, asal kata Manila (ibu kota Filipina) adalah fi Amanillah (dalam lindungan Allah). Jika hal ini benar adanya, maka semakin membuktikan perjumpaan Islam dan masyarakat Filipina yang terjadi jauh sebelum terbentuknya kerajaan dan datangnya imperialis Spanyol.
Catatan paling awal mengenai Islam di Filipina berasal dari catatan Cina bertahun 977 M. Catatan itu memberikan informasi mengenai barang-barang yang dibawa dari Mindoro (salah satu gugusan pulau di dekat pulau Luzon) ke Canton. Sejak itu, Islam menyebar di kepulauan Filipina untuk masa selanjutnya. Penyebaran Islam yang signifikan ke daerah ini terjadi dari Sumatera  dan memasuki Filipina melalui Kalimantan. Proses ini terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur yang melalui Balabac dan Palawan menuju Luzon dan Manila, dan jalur melalui Tawi-Tawi dan Sulu menuju Cotabato di pulau Mindanao.
Walaupun masyarakat Islam sudah terbentuk, mereka belum mempunyai peran besar sampai kedatangan Syarif Karim al-Makhdum (1380), Raja Baginda (1390), Abu Bakr (1450) dan Kabungsuan/Kabungusan (1475). Al-Makhdum berperan besar dalam menyebarkan dan memperkuat Islam di Sulu yang, sepuluh tahun kemudian, disusul oleh Raja Baginda yang berhasil membentuk sebuah kekuasaan terstruktur di daerah itu. Kekuasaan ini mencapai puncaknya ketika Abu Bakar, yang mempersunting putri Raja Baginda, dengan gelar Sultan Syarif memerintah dan diakui sebagai sultan kerajaan Sulu pertama. Dengan cara yang sama juga, Kabungsuan membentuk kerajaan di Mindanao.
Kerajaan-kerajaan yang terbentuk pada mulanya, namun tidak semua, berbasis dari pusat-pusat kekuasaan sebelum kedatangan Islam. Biasanya, penguasa lokal disebut dengan datu. Yaitu semacam penguasa daerah dengan kekuasaan yang terbatas. Pada masa Islam mereka menjadi kelompok elit masyarakat karena kekuasaan tetap dalam lingkaran mereka ketika menganut agama Islam. Selain kerajaan-kerajaan yang didirikan oleh para pembawa Islam awal, kekuasaan para datu juga berperan penting dalam membentuk kantong-kantong kekuasaan kaum muslim. Beberapa datu yang mempunyai kekuasaan lebih besar membentuk kerajaan dengan gelar sultan.
Pada masa kesultanan, sebagaimana juga terjadi dalam kekuasaan manapun, terjadi gesekan-gesekan politik dengan berbagai kepentingan yang melatarbelakanginya. Selain para sultan dengan kerajaannya, gesekan juga terjadi pada tingkat datu di bawahnya. Selain politik, gesekan ini juga dipicu oleh faktor ekonomi karena hal tersebut menentukan eksistensi dan peneguhan kekuasaan sebuah wilayah.
Kedatangan Islam ke Filipina mempunyai pengaruh yang beraneka. Datangnya Islam dengan sendirinya berarti masuknya norma, bentuk dan kandungan Islam yang menentukan parameter masyarakat dalam merespon berbagai peristiwa dan krisis yang mereka hadapi. Hal ini juga menumbuhkan suatu standar untuk membedakan diri mereka dengan masyarakat lainnya yang mendiami wilayah lain di Filipina. Selanjutnya, berdirinya kerajaan-kerajaan di atas merupakan titik krusial dalam sejarah politik masyarakat Filipina Selatan. Adanya formasi komunitas politik yang terorganisir tersebut sebagai hasil unifikasi komunitas ke dalam suatu unit politik yang terpusat (kerajaan) memberikan sumbangan besar bagi terbentuknya rasa ‘kebangsaan’ masyarakat. Identitas dan rasa ‘rasa kebangsaan’ ini jelas terlihat dalam respon mereka terhadap kedatangan Spanyol ke Filipina.
Berurat berakarnya Islam di daerah ini terjadi melalui proses yang lama dan panjang. Selain masyarakat Filipina sendiri, banyak aktor dan faktor lain yang member jalan untuk tumbuh suburnya Islam. Komunikasi antara daerah tetangga dalam bidang ekonomi, politik dan budaya telah menentukan corak Islam yang berkembang. Secara umum, untuk meringkasnya, pola islamisasi di Filipina ini mengambil tiga bentuk:
a.       Kedatangan para pendakwah dan pedagang muslim memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka menikahi orang local dan menurunkan keturunan yang selanjutnya menjadi keluarga-keluarga inti muslim.
b.      Kedatangan para tokoh-tokoh politik ke daerah ini. Mereka inilah yang memperkenalkan institusi-institusi keagamaan, pendidikan dan politik.
c.       Terbentuknya aliansi kelompok-kelompok penguasa di daerah Sulu, Maguindanao, Lanao, Borneo dan Molukas. Tentunya ini mempercepat, memperdalam dan mempertinggi kesadaran muslim dalam berbagai bidang.

D.    Periode Imperialisme
Orang Eropa pertama yang datang ke Filipina adalah Ferdinan Magellan. Dia adalah seorang penjelajah Spanyol yang berangkat pada tahun 1519 dengan tujuan India melalui jalur barat. Setahun kemudian dia sampai di Amerika Selatan dan terus menyeberangi Samudera Pasifik. Pada tahun 1521 Magellan mendarat di Pulau Cebu, Filipina namun kemudian terbunuh dalam sebuah pertempuran kecil. Walaupun demikian, Magellan telah berhasil membuka jalur baru Amerika Selatan-Asia atau sebaliknya yang dipakai untuk jalur perdagangan.
Jasa besar Magellan dalam membuka jalur Amerika Selatan-Asia ini ditindaklanjuti beberapa puluh tahun kemudian oleh Maguel de Legazpi. Keberangkatannya dari Meksiko ke Pulau Cebu dilandasi oleh semangat mengalahkan penduduk pribumi, mengkristenkan mereka dan membuka jalur perdagangan dengan Asia Tenggara. Legazpi mendarat di Cebu pada tahun 1564 dan dengan mudah menaklukkan daerah tersebut. Namun ketika akan menaklukkan Manila pada tahun 1567, dengan maksud memindahkan markas besar Cebu ke Manila, mereka mendapatkan perlawanan sengit dari Raja Sulaiman, walaupun kerajaan ini belum lama berdiri. Mengenai hal ini, sebagian kaum muslim Filipina berandai-andai, seandainya saja Legazpi datang beberapa puluh tahun kemudian, ketika kekuasaan yang baru itu sudah membangun basis politik dan pertahanannya, mungkin ceritanya akan berbeda.
Pendudukan Spanyol di Filipina berjalan cepat dan lancar di bagian utara, namun tidak demikian dengan bagian selatan. Bagian selatan merupakan mayoritas muslim yang jauh sebelum kedatangan Spanyol telah mampu mendirikan kerajaan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, Spanyol sebenarnya sedang berhadapan dengan sebuah kekuasaan yang kuat berakar dengan tiang kokoh terpancang secara ekonomi, sosial dan politik.
Pertemuan pertama antara Spanyol dan kaum muslim di Filipina Selatan terjadi pada tahun 1578. Kemenangan temporer dan pengobaran semangat ‘perang suci’ (holy war) oleh Spanyol tidak mampu mengalahkan kaum muslim, bahkan selama lebih 300 tahun penjajahan Spanyol di Filipina yang berakhir pada tahun 1898.
Kekalahan Spanyol dari Amerika Serikat pada tahun 1898 memaksa mereka menyerahkan Filipina dengan ditandatanganinya Perjanjian Paris (Treaty of Paris). Spanyol memasukkan Filipina Selatan dalam kekuasaan mereka dan termasuk wilayah yang diserahterimakan dengan Amerika Serikat. Namun, tidak berbeda dengan Spanyol, 47 tahun penjajahan Amerika di Filipina tidak mampu menguasai wilayah muslim. Pada tahun 1899, Amerika menandatangani kesepakatan dengan penguasa muslim untuk tidak ikut campur dalam urusan kekuasaan muslim di Filipina Selatan. Namun kesepakatan ini dilanggar dan tidak diakui pada masa selanjutnya sehingga ketika Amerika memberikan kemerdekaan pada Filipina pada tahun 1946 wilayah muslim termasuk di dalamnya. Keinginan kaum muslim untuk untuk tidak digabungkan dalam kekuasaan Filipina tidak digubris baik oleh Amerika atau Filipina sendiri. Akibatnya, terjadilah serangkaian kerusuhan dan pertikaian yang merupakan protes kaum muslim. Sejarah yang berbeda dan keyakinan yang berlainan serta perlakuan diskriminatif yang diterima membuat Filipina selatan merasa sebagai bangsa sendiri, berbeda dengan saudara mereka di utara.
Dalam perspektif pemerintahan baru yang terbentuk, protes kaum muslim ini dilihat sebagai pelanggaran hokum dan pelanggaran ketertiban nasional. Oleh karena itu, mereka didakwa tidak mengidentifikasikan diri sebagai bangsa Filipina dan merongrong kebijakan pemerintah. Seandainya menengok ke belakang, pemerintah Filipina seharusnya tahu bahwa Filipina Selatan memang tidak mengakui diri mereka sebagai bagian dari Filipina sebagai bangsa dan tidak pernah setuju dengan kebijakannya, karena pada dasarnya meeka tidak mau dimasukkan ke dalamnya.

E.     Diskriminasi Politik dan Agama
Keberadaan kaum muslim di wilayah Filipina Selatan dan kegigihan mereka mempertahankan wilayahnya merupakan kendala besar bagi Spanyol. Euphoria setelah mengalahkan muslim di Spanyol pada tahun 1492 diusik dengan semangat kaum muslim Filipina Selatan. Kebijakan mereka selama penjajahan berpusat pada penaklukan dan kristenisasi terhadap kaum muslim.
Penyebutan Spanyol atas muslim Filipina Selatan dengan ‘Moro’ adalah suatu yang berlebihan dan bernada merendahkan. Sebutan Moro merupakan sebutan Spanyol bagi muslim yang menaklukkan semenanjung Iberia pada abad VIII dan bertahan sampai 700 tahun kemudian. Kata Moro berasal dari kata Maurus, sebuah suku yang mendiami Mauritania, yang berperan besar dalam penaklukan semenanjung Iberia.
Pada masa selanjutnya, peperangan terus terjadi dan Spanyol berusaha dengan segala cara untuk memenangkannya. Penduduk Filipina Utara yang sudah ditaklukkan dan dikristenkan dikerahkan untuk membantu Spanyol melawan kaum muslim. Ikut sertanya rakyat Filipina Utara ini memperlebar jarak rasa sesama kaum terjajah antar mereka, yang juga ditambah dengan adanya perbedaan agama. Kaum muslim Filipina Selatan semakin menemukan diri mereka berbeda dengan saudara mereka di utara.
Spanyol sendiri dengan tegas memberikan garis perbedaan berdasarkan agama. Tentunya hal ini berimbas pada prasangka dan perlakuan yang berbeda pula. Mereka yang beragama Kristen adalah teman dan saudara penjajah, dan mereka yang muslim adalah musuh penjajah. Sebagai sebuah contoh, pada periode penjajahan Spanyol, terdapat sebuah permainan yang bernama Moro-Moro. Yaitu sebuah permainan yang mempertemukan antara tokoh penjahat muslim dan tokoh pahlawan Kristen. Contoh lain adalah, pada periode penjajahan Amerikan, slogan penghinaan yang mengatakan a good Moro is a dead Moro. Ironisnya, bahkan setelah kemerdekaan pun hal ini terus berlanjut. Buku sejarah yang diterbitkan menggambarkan kaum muslim sebagai juramentados (bajak laut, pengkhianat).
Pada masa penjajahan Amerika, secara sepihak mereka mulai mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada penyatuan Filipina Utara dan selatan. Langkah pertama adalah dengan menjadikan Filipina selatan sebagai Provinsi Moro pada tahun 1903, yang berarti menganggapnya sebagai bagian dari wilayah penjajahan. Hal ini dilanjutkan dengan terbaginya provinsi tersebut menjadi Mindanao dan Sulu, dan kebijakan ini ditutup dengan dihapuskannya model kerajaan pada tahun 1915.
Hilangnya sistem politik ini mengakibatkan kaum muslim kehilangan kemampuan untuk mengorganisir diri secara maksimal. Daya tawar politik semakin menurun karena, setelah penghapusan model kerajaan, penjajah melakukan penekanan secara sosio-budaya, ekonomi dan politik.
Lemahnya daya tawar ini terlihat pada kasus petisi 1935 yang ditolak Amerika. Ketika itu, Amerika mengumumkan akan memberikan kemerdekaan bagi Filipina dengan menggabungkan Filipina Utara dan Selatan. Para pemimpin muslim mengajukan petisi yang meminta Amerika tidak menggabungkan mereka dengan Filipina Utara, bahkan mereka memilih tetap berada di bawah Amerika daripada berada di bawah pemerintahan mayoritas Kristen Filipina Utara. Namun permintaan itu ditolak dan Amerika tetap menggabungkan kedua wilayah tersebut.
Setelah kemerdekaan, pemerintahan baru Filipina meneruskan usaha Amerika untuk mengintegrasikan Filipina Selatan dan mengabaikan aspirasi kaum muslim. Bagi kaum muslim penyatuan ini merupakan hal yang mustahil karena hal tersebut berarti akan menghilangkan identitas mereka. Penyatuan tersebut berarti menjadi bagian dari mayoritas Kristen. Bagaimanapun, tidak ada ikatan dan kepercayaan yang akan mengikat mereka sebagai sebuah bangsa. Filipina Utara, dengan proses panjang yang mereka alami selama penjajahan, merasa diri mereka sebagai bangsa Filipina. Sedangkan Filipina selatan, dengan penduduknya yang mayoritas Islam, tidak merasa sebagai bagian dari proses tersebut. Mereka merasa sebagai bangsa muslim atau bangsa Moro.
Menegasikan aspirasi kaum muslim ini tidak hanya dalam bentuk seperti yang digambarkan di atas. Lebih dari itu, dilakukan perencanaan aktif untuk integrasi tersebut dengan menempatkan atau mengirim kaum Kristen ke Filipina Selatan. Kebijakan ini sudah dilakukan secara intensif oleh imperialis Amerika, ketika mereka menggantikan Spanyol menjajah Filipina, yaitu sejak tahun 1918. Program Amerika yang menempatkan kaum Kristen di Filipina Selatan ini dilanjutkan oleh pemerintah Filipina setelah kemerdekaan. Aktifitas ini semakin massif setelah pemerintah Filipina didukung oleh Amerika pada tahun 50-an.Kaum Kristen dimigrasikan secara besar-besaran menempati wilayah kaum muslim. Sebagian besar kaum Kristen dari etnis Ilongo, Ilocano dan Tagalog. Akibatnya, terjadi berbagai konflik antara Kristen dan Islam. Konflik berkepanjangan ini meluas tidak hanya pada perebutan lahan, tapi juga merambah pada kegiatas sosial keseharian mereka seperti mata pelajaran, tempat ibadah dan sebagainya. Pada masa selanjutnya, bisa ditebak, kaum muslim yang awalnya mayoritas, oleh karena adanya proses minoritisasi (minoritization) ini, menyebabkan kaum muslim menjadi minoritas di wilayah mereka sendiri.[1] Dan yang terus terjadi adalah pertikaian tiada henti dengan saling klaim tanpa ujung. Ironisnya, tidak sekali pemerintah Filipina justru lebih memihak pada kelompok Kristen. Sikap diskriminatif ini dilihat dan dirasakan langsung oleh kaum muslim Filipina Selatan, namun hal tersebut justru menambah semangat dan motivasi mereka untuk terus mempertahankan tanah leluhurnya dan tetap memperjuangkan kedaulatan wilayah mereka.
Apa yang terjadi pada kaum muslim Filipina ini disebut sebagai sebuah pemaksaan yang didasarkan pada arogansi penjajah dan pemerintahan yang dibentuknya untuk menyatukan dua Filipina. Begitu juga dengan langkah mereka untuk menjadikan kaum muslim sebagai minoritas di wilayahnya sendiri. Dalam sejarah dunia, bentuk pemaksaan seperti ini melahirkan konflik yang berkepanjangan. Secara umum terdapat beberapa bentuk minoritas. Pertama adalah komunitas migran, sebagaimana banyak ditemukan di negara-negara Barat saat ini. Kedua adalah penduduk setempat yang menjadi minoritas di tempat tinggalnya, seperti yang terjadi di suku Aborigin di Australia dan Indian di Amerika. Kategori ketiga adalah mereka yang dipaksa bergabung ke dalam negara-bangsa baru, seperti yang terjadi pada umat Islam di Filipina selatan, yang dipaksa bergabung dengan pemerintahan pusat di Manila usai penjajahan Amerika Serikat
Konflik berkepanjangan yang berakar dari masa imperialisme dan dilanjutkan pada masa setelah kemerdekaan selalu hanya dilihat sebelah mata. Solusi yang ditawarkan hanya menguntungkan sebagian pihak sehingga justru merunyamkan masalah yang ada. Warisan penjajah mengenai Filipina Selatan ini tidak pernah menjadi prioritas utama pemerintah hingga pada masa selanjutnya, dan permusuhanpun terus berlanjut. Inilah yang kemudian dikenal dengan Moro problem, Muslim problem atau Mindanao problem.

F.     Perjuangan Setelah Kemerdekaan
Pertikaian yang terus berlanjut akhirnya sedikit mengusik pemerintah Filipina. Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 1956 pemerintah membentuk Komisi Integrasi Nasional yang kemudian berganti menjadi Office of Muslim Affairs and Cultural Communities (Bagian Urusan Muslim dan Komunitas Kultural). Namun pelaksaan kebijakan ini dilakukan secara setengah hati karena kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi riil masyarakat. Protes atas integrasi, perlakuan diskriminatif dan pencaplokan wilayah yang menjadi akar permasalahan sama sekali tidak disentuh, bahkan solusi yang ditawarkan, integrasi, justru memperburuk keadaan.
Pada tahun 70-an, terbentuk sebuah organisasi teroris Nasrani. Gerakan yang awalnya hanya beroperasi di Cotabato ini merembet ke wilayah lainnya. Kaum muslim meresponnya dengan membentuk kelompok seperti Blackshirt dan Barracuda. Ketegangan bertambah dan bahkan cenderung meluas. Sebenarnya, berbagai kerusuhan dan pertikaian ini tidak hanya diakibatkan oleh faktor-faktor permukaan seperti terbentuknya organisasi atau kerusuhan saja. Ada faktor lain yang sebenarnya jauh lebih provokatif dan rentan untuk memicu berbagai reaksi keras kaum muslim. Faktor massifnya arus migrasi kaum Kristen yang tiada henti harus dilihat sebagai benang merah. Begitu juga dengan ketimpangan perlakuan dan tingkat ekonomi antara kaum muslim dan kaum Kristen. Dan masih banyak lainnya yang jarang dilihat sebagai pemicu utama. Akibatnya, kaum muslim hanya dicap sebagai kelompok yang kegandrungannya bertikai dan saling membunuh
Sikap pemerintah Filipina yang mengabaikan Filipina Selatan mengakibatkan terjadinya kemiskinan di berbagai bidang (termasuk pendidikan dan kesehatan). Pemerintah hanya sibuk menjalankan program yang hanya menguntungkan Filipina Utara sehingga Filipina Selatan menjadi daerah termiskin.
Kekecewaan kaum muslim yang menggumpal akibat berbagai kebijakan yang tidak memihak dan perlakuan tidak adil dari pemerintah mengkristal dalam Corregidor Massacre (pembunuhan Corregidor).[2] Peristiwa ini semakin membuat kaum muslim tidak percaya dengan pemerintah dan mendorong mereka untuk melakukan protes dan mengorganisir diri pada tahun 1968.
Hal lain yang menyebabkan terorganisirnya perjuangan Filipina adalah hubungannya dengan kaum muslim lainnya. Hubungan ini memang sudah terjalin lama, mungkin sama dengan proses masuknya Islam ke wilayah ini. Bagaimanapun, masuknya Islam ke Filipina tidak bisa dilepaskan dengan daerah di sekitarnya seperti Malasyia, Brunei Darussalam dan Indonesia. Melalui jalur inilah kaum muslim Filipina tetap menjalin hubungan. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kemerdekaan Filipina pada tahun 1946 telah mempermudah jalinan tersebut. Seiring dengan itu, kaum muslim terhubung dengan berbagai negara Islam di Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Iran, Afrika seperti Mesir dan Libya dan Asia Selatan seperti Afghanistan dan Pakistan. Sebagai sebuah contoh, sejak tahun 1955 sampai dengan tahun 1970 Mesir memberikan 200 beasiswa bagi muslim Filipina.
Adanya hubungan dengan berbagai negara Islam ini melahirkan pengaruh yang besar bagi kaum muslim Filipina. Keterbukaan pandangan mereka terhadap perkembangan luar sekaligus mengiringi ketersadaran mereka untuk terus memperjuangkan hak mereka yang selama ini direnggut pemerintah Filipina. Berjalan lurus dengan perkembangan ini, muncul golongan terdidik yang menentukan arah perjuangan kaum muslim selanjutnya. Walaupun pada masa awal hanya elit tradisional yang tersentuh dengan perubahan ini, namun lambat laun merembet pada golongan dibawahnya. Hal ini seiring dengan terjadinya modernisasi dan tingkat kesadaran kaum muslim Filipina.
Patut juga dicatat adanya perkembangan yang melanda negara-negara Islam pada waktu itu. Yaitu gelombang pembaharuan pemikiran yang bermuara pada munculnya berbagai gerakan baik politik atau intelektual di dunia Islam. Pembaharuan yang terjadi di Mesir atau indo-Pakistan misalnya, turut juga mempengaruhi corak pemikiran dan arah perjuangan kaum muslim Filipina dalam memperjuangkan hak-haknya.
Mengenai periode pengorganisasian perjuangan ini, akan dibahas empat kelompok muslim Filipina, yaitu MIM (Muslim Independent Movement), MNLF (Moro National Liberation  Front), MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan gerakan Abu Sayyaf. Empat kelompok ini dianggap refresentatif untuk menggambarkan perjuangan muslim minoritas Filipina terutama setelah Corregidor Massacre. Kelompok-kelompok inilah yang mendominasi perjuangan politik kaum muslim Filipina dan mewarnai panggung politik Filipina serta mempunyai pengaruh signifikan dalam membawa angin perubahan bagi arah perjuangan kaum muslim di wilayah ini.

Muslim Independent Movement (MIM)
Kelompok pertama adalah Muslim Independent Movement (MIM) di Cotabato yang merupakan respon langsung dari Corregidor Massacre. MIM menuntut kemerdekaan bagi Mindanao dan Sulu yang sejak dulu merupakan wilayah Muslim. Kelompok ini berdiri pada tanggal 1 Mei 1968 oleh Datu Udtog Matalan, seorang veteran pemimpin gerilya selama perang Jepang-Amerika dan seorang mantan gubernur Cotabato.
Berdirinya kelompok ini meresahkan kaum Kristen di daerah tersebut, terutama karena dengan misi terbentuknya negara Islam. Keteganganpun terjadi. Untuk menyerap aspirasi kaum Kristen dan untuk membuktikan bahwa misi terbentuknya negara bukan semata-mata bermotif agama, maka Muslim Independent Movement di rubah menjadi Mindanao Muslim Movement. Namun hal ini tidak bisa mengurangi ketegangan karena isu negara Islam sudah terlanjur meluas. Akibatnya terjadi kerusuhan dan perkelahian antara muslim dan Kristen di berbagai tempat. Perseteruan ini berlangsung lama karena jumlah kedua kelompok seimbang. Kaum Kristen yang bermigrasi besar-besaran sejak penjajahan Amerika telah mencapai jumlah signifikan di Filipina Selatan.
Kondisi memanas ini juga dipicu oleh kebiasaan tokoh lokal yang mendapat pengikut dan dipersenjatai. Kaum Kristen, digerakkan oleh the Magnificent Sevent, tujuh tokoh politisi Kristen membentuk Ilaga, nama yang kemudian menandakan gerombolan teroris Kristen apa saja yang diorgaisir dengan baik. Sementara kaum muslim mengimbanginya dengan membentuk kelompok Blackshirt danBarracuda. Pecahlah kerusuhan diberbagai tempat.
Perseteruan tak berujung ini menyebabkan pemerintah menurunkan pasukan militer. Namun hal ini tidak menyelesaikan masalah karena anggota pasukan yang beragama Kristen justru membunuh kaum muslim dengan cara yang lebih kejam. Terjadi lagi tragedi pembunuhan kedua.
Dalam perspektif kaum muslim, terdapat kolusi yang jelas antara politisi Kristen, penduduk dan pemegang kebijakan Filipina terutama di Cotabato dan Lanao. Oleh karena itu, tidak lama setelah peristiwa berdarah itu, para pemimpin muslim dari semua bidang seperti akademisi, politisi, mahasiswa dan pengusaha berkumpul untuk menentukan sikap. Pertemuan ini sedikit meredakan ketegangan. Penentuan sikap itu menyepakati sebuah maklumat politik yang berbunyi:
“Dengan nama Allah SWT, umat Islam yang mendiami pulau Mindanao, Sulu dan Palawan menyatakan tekadnya untuk memisahkan diri dari Republik Filipina dan mendirikan sebuah Negara Islam, yang dapat menampung idealisme dan aspirasi umat, yang dapat memelihara dan mengembangkan warisan agama-nya di bawah naungan persaudaraan Islam yang universal, dibawah pemerintahan yang berdasar hukum, keadilan dan demokrasi…negara Islam ini meliputi daerah Filipina bagian Selatan yang penduduknya Ummat Islam yakni: Cotabato, Davao, Zamboanga, Basilan, Lanao Sulu, Palawan dan daerah serta pulau-pulau di sekitarnya yang ditempati atau di bawah pengaruh Umat Islam.”

Namun kondisi politik Filipina (Utara) sendiri yang juga memanas, kembali memicu berbagai konflik. Konflik ini hanya berbentuk bentrokan kecil di Filipina Selatan. Dalam suasana tersebut, pemerintah mengeluarkan Declaration of Martial Law (pengumuman keadaan perang) pada tahun 1972. Deklarasi ini memuat pernyataan adanya kekuatan asing yang menunggangi berbagai kelompok di Filipina, dan telah terjadi kekacauan serius di Mindanao dan Sulu. Bagi pemerintah, deklarasi ini mengesahkan mereka untuk menindak anarkisme dan menjaga keamanan.
Inilah alasan kuat pemerintah menerjunkan pasukan militer ke Filipina Selatan. Kaum muslim sendiri melihat ini sebagai usaha pemerintah memaksa mereka mengakui pemerintahan mayoritas Kristen. Terjadilah konflik antara pasukan pemerintah dan muslim Filipina Selatan yang meluas di hampir semua wilayah. Di tengah berkobarnya perlawanan ini, MNLF terbentuk.

Moro National Liberation Front (MNLF)
Moro National Liberation Front (MNLF) sebenarnya juga merupakan respon atas Corregidor Massacre. Sejak protes di Cotabato terjadi, sejumlah pemuda mengorganisir diri dan mendapatkan pelatihan di Malasyia. Mereka kemudian mengangkat Nur Misuari, sebagai ketua pada tahun 1969. Sebagian besar anggota kelompok ini merupakan hasil didikan sekuler dan bahkan ada yang berhaluan kiri.  Di antara tokoh-tokoh MNLF yang paling terkemuka adalah: Nur Misuari, lulusan Universitas Filipina jurusan Ilmu Politik dan kemudian menjabat sebagai lektor, dan selanjutnya menjadi anggota staf pusat Asia dari universitas tersebut. Ia berasal dari keluarga rakyat biasa di Sulu. Tokoh lainnya, Hashim Salamat dari Cotabato, berasal dari keluarga Maguindanao yang berpengaruh, dan telah belajar di lembaga-lembaga Arab dan Islam di Kairo, Mesir. Selanjutnya, Abdul Khair Alonto, seorang mahasiswa keturunan sultan-sultan di Lanao.
Kelompok ini menemukan bentuknya dan mendapatkan simpati besar masyarakat ketika berperan besar dalam perseteruan kaum muslim dengan pemerintah setelah dikeluarkannya deklarasi Martial Law.  Kelompok ini bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan dan menentang pemerintah yang berkuasa. Tujuan mereka mendapatkan momentumnya ketika pecah konflik dengan Pemerintah. Perlawanan gigihnya mengakibatkan semakin meluasnya perlawan sehingga banyak daerah di Filipina Selatan yang mereka kuasai. Korban berjatuhan baik dari pihak MNLF sendiri atau pemerintah Filipina. Akhirnya, dilakukan negoisasi. Namun, negosiasi yang terus diusahakan tersebut menemui jalan buntu.
Terjadinya pertikaian yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dan gelombang pengungsi ini mengundang reaksi internasional, terutama negara-negara Islam. dalam hal ini patut dicatat peran Libya, Akademi Riset al-Azhar dan, terutama, Islamic Conference of Foreign Minister (ICFM) yang merupakan bagian dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sejak pecahnya pertikaian di Filipina Selatan, kelompok-kelompok ini terus memberikan reaksi baik dengan mengirim surat, membentuk tim, mengirim bantuan atau usaha menjembatani konflik tersebut. ICFM sendiri secara rutin memantau perkembangan Filipina Selatan dan dengan aktif membantu tercapainya kesepakatan antara kedua belahh pihak, bahkan pada konferensinya di Banghazi, Libya, pada tahun 1973, ICFM membentuk panitia empat yang bertugas menyelesaikan masalah Filipina Selatan. Panitia empat ini terdiri dari Abdul Ati al-‘Obeidi dari Libya, Mustafa Sise dari Senegal, Omar Saqqaf dari Saudi Arabia dan Omar Arteh Ghalib dari Somalia.
Kondisi memanas di Filipina ini sedikit mereda ketika Libya dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) menjembatani kedua pihak dan menghasilkan Perjanjian Tripoli (Tripoli Agreement) tahun 1976. Perjanjian ini ditanda tangani pada tanggal 23 Desember 1976/ 22 Muharram 1372 oleh Carmelo Z. Barbelo (menteri pertahanan Filipina), Nur Misuari (MNLF), Dr. Ali Abdussalam Teriki (Panitia Empat) dan Dr. Ahmed Karim Gai (sekjen OKI).
Keterlibatan pihak luar dalam menjembatani konflik Filipina merupakan akibat langsung dari berdirinya MNLF. Kelompok ini, yang sejak berdirinya mendapat dukungan besar dari kaum muslim Filipina, mendapat sorotan luas dunia Islam melalui dukungan liputan media masa. Inilah yang menumbuhkan keprihatinan pihak-pihak luar, terutama negara-negara Islam, untuk ikut terlibat dalam penyelesaian masalah kaum muslim Filipina ini.
Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 23 Desember ini memuat kesepakatan melakukan genjatan senjata dan jaminan otonomi terhadap 13 provinsi yang dihuni mayoritas muslim. Hal ini berarti MNLF terikat dengan perjanjian tersebut dan mengakui otonomi sebagai status bagi wilayah Filipina Selatan. Perjanjian Tripoli ini berisi pembentukan pemerintahan otonomi di Filipina Selatan yang mencakup tiga belas propinsi, yaitu Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, Cotabato utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao Norte, Lanao Sur, Davao Sur, Cotabato selatan, dan Palawan. Perjanjian itu juga memberikan Otonomi penuh pada bidang pendidikan dan pengadilan, sementara bidang pertahanan dan politik luar negeri tetap menjadi wewenang pemerintahan pusat di Manila. Satuan regional yang merupakan bagian dari MNLF berada di bawah komando angkatan bersenjata Filipina. Perjanjian Tripoli ini memperlihatkan perubahan perjuangan MNLF dari perjuangan kemerdekaan menjadi penerimaan atas daerah otonomi bagi muslim.
Namun hasil perjanjian itu tidak berjalan dengan mulus. Ferdinand Marcos secara halus melanggar perjanjian tersebut. Perjanjian Tripoli yang tidak mengatur secara jelas cara pembentukan otonomi yang telah disepakati menjadi celah pemerintah ‘membatalkan’ perjanjian tersebut. Dia menggelar referendum di tiga belas wilayah tersebut untuk otonomi atau tidak. Hal ini tentu saja menyudutkan pihak MNLF karena gelombang kaum Kristen yang dikoordinir secara besar-besaran pindah ke Filipina Selatan telah merubah konstalasi politik. Kaum muslim yang kini menjadi minoritas di wilayahnya sendiri. Referendum itu berakhir dengan mayoritas yang menolak otonomi. Tentu saja kebijakan itu mengundang reaksi keras MNLF.
Sikap pemerintah yang setengah hati dan sering melanggar perjanjian seperti sikap Marcos di atas mewarnai perjuangan MNLF pada masa selanjutnya. Presiden Aquino juga tidak jauh berbeda, otonomi yang dijanjikan tidak lebih dari sikap meredam perlawanan MNLF hanya untuk meneguhkan kekuasaannya. Setelah itu, pertikaianpun berlanjut. Baru pada tahun 1990 pemerintahan otonomi ini membawa angin segar sehingga kondisi menjadi lebih kondusif.
Terhitung setelah perjanjian Tripoli, sikap MNLF melunak, bahkan terkesan dekat dengan pemerintah. Pemerintah sendiri juga mendukung keberadaan MNLF dan menganggapnya sebagai refresentasi muslim Filipina baik di dalam atau luar negeri. Nur Misuari bahkan tidak mengurus kekuatan militernya dengan baik. Seragam saja mereka tidak punya. Perlawanan akibat inkonsistensi pemerintah dilakukan tidak semassif sebelumnya. Oleh karena itu, Central Comitte (komite pusat) sepakat utuk menurunkannya. Namun Nur Misuari tidak menerimanya dan melakukan perlawanan, bahkan setelah itu ia mengadakan rekrutmen anggota sendiri.
Sikap MNLF yang melunak ini bisa dilihat sebagai konsekuensi atas sikapnya yang menerima tawaran otonomi. Kalaupun ada gejolak untuk kembali memperjuangkan pemisahan diri dari Filipina, ini merupakan sikap reaktif atas sikap pemerintah yang cenderung plin-plan. Secara keseluruhan, sikap MNLF tetap bisa dikatakan melunak setelah pemberian otonomi. Sikap inilah yang mengakibatkan terjadinya perpecahan dalam tubuh MNLF.

Moro Islamic Liberation Front (MILF)
Perjanjian Tripoli yang disepakati atas keterlibatan berbagai pihak di atas menjadi babak baru bagi perjuangan muslim Filipina. Sikap MNLF yang dianggap melunak setelah penandatanganan perjanjian tersebut memunculkan perbedaan pandangan di internal MNLF. Tidak semua pihak dari kaum muslim menerima perjanjian tersebut, bagi sebagian kelompok  perjanjian tersebut merupakan sebuah kekalahan dan penyimpangan dari tujuan untuk mendirikan kekuasaan independen di Filipina Selatan. Perselisihan pendapat ini berujung pada pecahnya MNLF dengan keluarnya Salamat Hashim pada tahun 1984 dan mendirikan Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Perselisihan ini juga disebabkan karena adanya perbedaan berbagai hal yang sudah muncul sebelum adanya perjanjian Tripoli. Latar belakang pendidikan berbeda yang bermuara pada perbedaaan pandangan disinyalir menjadi pemicu ketidakselaran dua tokoh elit MNLF, Nur Misuar dan Salamat Hashim. Nur Misuari dengan latar belakang pendidikan sekulernya mempunyai kecenderungan Marxis, sedangkann Hashim berlatar belakang pendidikan Kairo dan Pakistan. Hashim juga terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb dan Abul A’la al Maududi. Dalam menyatakan alasannya keluar dari MNLF Hashim menganggap bahwa MNLF telah menyimpang dari prinsip dasar, metodologi dan tujuan Islam. Baginya MNLF sudah dikuasai dengan orientasi yang bercorak Maois-Marxis.
Selain itu, MNLF dan Nur Misuari juga mendapat kecaman dari para ulama dan ustadz yang dianggap hanya bersikap pasif atas perubahan yang terjadi, dan pada akhirnya hanya akan merugikan kaum muslim secara politik. Hal lain yang dikecam adalah kepemimpinan MNLF sendiri yang dikuasai oleh kelas feudal yang hanya mementingkan diri sendiri.
Inilah beberapa faktor yang memicu terjadinya pemisahan diri dari kelompok yang merasa aspirasinya tidak terakomodir dengan baik dalam MNLF. Pada awalnya kelompok ini mendapat sebutan MNLF baru sebelum berganti menjadi MILF. MILF terbentuk di Jeddah pada tahun 1984. Tujuan MILF adalah “semua mujahidin yang berada di bawah naungannya menjadikan Islam sebagai jalan hidup, dan tujuan final mereka adalah menegakkan kalimat Allah serta mendirikan negara Islam diwilayah Filipina Selatan”. Dalam gerakannya, MILF lebih menekankan pada persoalan-persoalan Islam, dan kebanyakan pemimpinnya adalah para sarjana Islam yang berlatar belakang agama dan aristokrat tradisional. Berbeda dengan MNLF yang menerima pemberian otonomi, MILF tetap memperjuangkan adanya negara Islam dan pemberlakuan syariat Islam.
Prinsip yang diperjuangkan MILF ini sedikit berubah pada tahun 1987 ketika menyatakan bahwa hak independen kaum muslim akan tercapai hanya dengan dimediasi oleh OKI atau Liga Muslim. Mereka juga menyatakan bahwa tujuan mereka bukan pemisahan wilayah, tapi berupa wilayah otonomi. Dengan demikian, MILF banyak terlibat dalam usaha melakukan negoisasi dengan pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut.
Walaupun demikian, sikap MILF lebih tegas dan frontal sehingga justru sering bertikai dan saling serang dengan pemerintah. Tawaran mereka adalah final dan tidak kompromi, hal ini menyebabkan sulitnya ditemukannya kata sepakat.
Sampai saat ini belum ada solusi tuntas menyelesaikan konflik kaum muslim Filipina Selatan ini. MILF sebagai kelompok terbesar yang mewakili aspirasi kaum muslim masih merasa ketidakseriusan pemerintah dalam mengakomodir aspirasi mereka. Dan jika demikian, bagi mereka, perjuangan terus berlanjut. Artinya, mereka tetap dalam koridor untuk membentuk negara merdeka di Filipina Selatan, namun tetap juga berusaha menegosiasikannya dengan pemerintah. Nampaknya, MILF menggunakan negosiasi dan kekuatan senjata secara berdampingan.
Pada tahun 2008, sebenarnya, disepakati perjanjian perdamaian dan pemberian daerah yang luas bagi kaum muslim di daerah selatan. Namun perundingan yang sudah berjalan berbulan-bulan itu tidak disetujui oleh pihak Kristen. Rancangan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung dan dianggap tidak konstitusional. Pertikaian dan kekerasanpun meletus kembali, merobek upaya perdamaian yang terus menerus diusahakan selama sebelas tahun terakhir.
Sepanjang tahun 2009 terjadi serentetan penyerangan yang berakhir dengan kontak senjata antara kedua belah pihak. Dan baru pada awal 2010 pemerintah mengusahakan disepakatainya perjanjian damai kembali. Pemerintah menawarkan adanya pembagian kekuasaan dengan wewenang pada pajak dan sumber daya alam bagi MILF. Namun MILF menanggapinya dengan dingin karena, bagi mereka, tidak ada yang baru dari tawaran tersebut. Apalagi, upaya perjanjian damai ini dilontarkan ketika pemerintah akan mengadakan pemilu pada pertengahan 2010.

Kelompok Abu Sayyaf
Kelompok lain yang memainkan peran penting dalam perjuangan aspirasi muslim di Filipina adalah kelompok Abu Sayyaf. Kelompok ini dibentuk pada pertengahan tahun 1980an oleh Abdul Razak Abu Bakar Janjalani, seorang anggota senior MNLF.
Pada awalnya kelompok ini adalah semacam perkumpulan antar beberapa anggota keluarga. Perkumpulan ini menjadi luas karena sanggat bermanfaat secara komunal bagi masyarakat yang berada di daerah luas dengan penduduk yan tidak banyak. Ketika dipimpin oleh Abdul Razak kelompok ini menjadi terkenal, diliput oleh media dan ditanggapi pemerintah karena serangkaian kekerasan, penculikan dan pengeboman yang dilakukannya.
Abdul Rajak adalah salah satu dari lima bersaudara, dari sebuah keluarga sederhana di pulau Basilan. Pada waktu mudanya dia masuk al-Islamic Tabligh, sebuah organisasi yang disokong oleh Saudi Arabia dan Pakistan. Negara-negara ini pula yang mensponsori anak-anak muda berbakat untuk disekolahkan ke Saudi Arabia dan Libya. Abdul Rajak merupakan salah satunya. Dalam perjalanan pulangnya dia mampir di Pakistan dan tertarik mempelajari revolusi Islam.
Abdul Razak diklaim merupakan perpanjangan tangan dari Osama bin Laden dan merupakan salah satu jaringan al-Qaeda di Asia. Menurut versi ini, Abdul Razak direkrut oleh ipar laki-laki Osama yang bernama Muhammad Jamal Khalifah, yang kemudian mengirimnya untuk melakukan perjalanan ke Mekkah, Mesir, Syiria dan kemudian menuju Afghanistan dan Pakistan. Di sinilah Abdul Razak bertemu dengan Abdul Rasul Sayyaf, seorang legenda Afghanistan dan pendiri Afghan Islamic Movement, yang kemudian menjadi nama kelompok yang didirikannya.
Seperti yang diuraikan di atas, telah ada perkumpulan yang mengawali berdirinya kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdul Razak. Setelah kunjungannya ke Pakistan dan Afghanistan, ia sudah mulai mengorganisir anggotanya kembali. Anggotanya sebagian merupakan anggota MNLF dan juga pernah berpengalaman di Afghanistan. Pada masa ini mereka bernama Mujahidin Commando Freedom Fighters (MCFF), dan diklaim sebagai bagian dari kekuatan militer MNLF. Baru pada tahun 1991 mereka menggunakan nama Abu Sayyaf, yaitu setelah memisahkan diri dari MNLF.
Sama seperti prinsip awal MNLF dan MILF, kelompok ini memperjuangkan berdirinya negara Islam. Namun berbeda dengan dua kelompok sebelumnya, Abu Sayyaf muncul sebagai wadah aspirasi pihak-pihak yang kecewa atas kebijakan MNLF dan MILF, dan cenderung bersifat militan dan radikal. Hal ini nampak dalam perjuangan mereka dengan melakukan penyerangan frontal, penculikan dan pemboman sebagai bentuk perlawanan untuk mendapatkan kemerdekaan.
Corak perjuangan Abu Sayyaf ini membawa mereka menjadi kelompok yang terus diburu oleh pemerintah. Apalagi dengan dalih adanya relasi kelompok ini dengan Osama bin Laden, dan dikonotasikan sebagai kelompok teroris, Amerika mempunyai kepentingan besar untuk membasmi mereka. Kerjasama pemerintah dan Amerika dalam berbagai bidang terus dilakukan dengan tujuan melumpuhkan kelompok Abu Sayyaf.
Abdul Razak sendiri meninggal pada tahun 1998 dalam sebuah pertempuran dengan pemerintah. Sebelum meninggal, ia sempat mengirim pesan-pean ideologis yang dikenal dengan Khutbah. Salah satunya berisi tentang misi-misi Kristen yang gencar dilakukan. Aktifitas itu telah menghina ummat Islam dan harus dilawan dengan kekerasan. Khutbah ini dianggap sebagai pemicu lain terjadinya penculikan dan pemboman setelahnya. Tapi ini tidak lama berlangsung, karena kelompok ini kemudian terpecah dan menyimpang dari ajaran-ajaran awal yang melandasinya. Abu Sayyaf terpecah menjadi dua kelompok besar yang membawahi 26 faksi kelompok bersenjata yang sulit dikoordinir. Kelompok-kelompok ini menjadi liar dan tak terkontrol secara kepemimpinan sampai tahun 2005, yaitu ketika munculnya saudara Abdul Razak, Khadafi Janjalani, sebagai pemimpin Abu Sayyaf.

G.    Problematika Muslim Filipina Selatan
Eksistensi Islam sebagai pengikat muslim Filipina Selatan terbentang sepanjang perlawanan mereka melawan penjajah dan perjuangan mereka mendapatkan kemerdekaaan dari pemerintah Filipina. Perlawanan dan perjuangan ini dilandasi oleh kesadaran mereka sebagai sebuah pemerintahan independen. Kesadaran ini terus diturunkan untuk tetap memperjuangkan wilayah mereka.
Ketika unit pemersatu politik masih kokoh berdiri perjuangan tersebut mendapatkan momentum terbaiknya. Namun hal ini tidak berjalan mulus setelah unit tersebut dihapuskan. Perjuangan muslim Filipina Selatan menjadi terkendala dengan kenyataan bahwa mereka terdiri dari etnis yang berbeda. Apalagi mereka juga terpecah-pecah dalam faksi politk yang berbeda-beda juga. Selain itu, campur tangan pihak luar, dunia Islam dan yang lain, memberikan warna sendiri bagi Filipina Selatan dalam beragai aspeknya. Usaha Negara-negara meredakan konflik panjang di daerah ini bukan hanya melalui diplomasi politik, namun dengan pelaksanaan perbaikan berbagai bidang yang dianggap memberikan andil dalam konflik tersebut. Kesenjangan ekonomi, pendidikan dan diskriminasi antara Filipina Selatan dan Utara adalah salah satunya. Oleh karena itu, digalakkanlah upaya-upaya kea rah perbaikan dalam bidang tersebut dengan pemberian dana yang memancing naiknya taraf ekonomi, pendirian berbagai fasilitas pendidikan dan pemberian pemahaman akan pluralitas dan kehidupan yang harmoni. Artinya, keberadaan kelompok politik seperti MIM, MNLF, MILF atau kelompok Abu Sayyaf saja  tidak selamanya bisa menyatukan kaum muslim, dan bahkan faktor inilah yang melemahkan kelompok-kelompok tersebut, tanpa diiringi upaya-upaya lain yang lebih praktis dan menyentuh kebutuhan keseharian kaum muslim.
Tentunya, faktor luar ini juga membawa kepentingan dan ideologi mereka sehingga terjadi interaksi antara khazanah lokalitas dan unsure luar yang baru ini. Inilah yang membawa warna bagi kaum muslim di daerah ini di bidang politk, sosial dan budaya, yang nantinya, menentukan corak sikap dan kebijakan mereka dalam memperjuangkan hak Filipina Selatan.
Sebagai suatu contoh, dalam pergerakan politik, tokoh dan gerakan yang muncul mengambil model dan jalan sendiri dalam perjuangannya. Nur Misuari yang banyak bersentuhan dengan negara-negara luar dalam memperjuangkan Filipina Selatan, banyak terpengaruh oleh Libya, Iran dan Pakistan. Hashim Salamat tidak mungkin menghilangkat pengaruh perkembangan politik dan pemikiran dari Mesir. Abdul Khair Alonto lebih memilih berkiprah dan berurusan dengan pemerintah. Lukman Rasyid, seorang mantan anggota parlemen, karena pengaruh Saudi Arabia yang kuat, memilih mendirikan Bangsa Moro Liberation Organization. Begitu juga dengan K. Pendatum, seorang mantan Senator, yang mendirikan Muslim Assosiation of the Phillipines.
Selain itu, latar belakang pemahaman yang diperoleh dari dunia pendidikan atau sejenisnya menjadi warna tersendiri yang berperan penting dalam menentukan arah perjuangan mereka. Hal ini tentunya juga merupakan pengaruh dari interaksi mereka dengan dunia luar. Tidak adanya kesepakatan yang mempertemukan perselisihan tersebut akhirnya berujung pada perbedaan arah dan tujuan perjuangan mereka.
Kenyataan adanya perbedaan pandangan yang juga berarti perbedaan tujuan dalam memperjuangkan hak kaum muslim sendiri di Filipina tidak terlepas dari corak Islam yang lahir dari persentuhannya dengan masyarakat Filipina. Fleksibelitas Islam selalu memunculkan corak yang berbeda di daerah yang disinggahinya. Begitu juga dengan Filipina, dimana hal ini membentuk karakter khas yang tidak ditemui di daerah lainnya.
Filipina merupakan daerah yang tidak tersentuh pengaruh Hindu-Budha seperti Indonesia. Oleh karena itu mereka tidak mempunyai latar belakang kosmologi dan mitologi yang kompleks dan tinggi. Hal ini memunculkan Islam yang bercorak sinkretik dengan ornamen lokal. Percampuran ini mengakibatkan tidak adanya konflik besar yang berkepanjangan antar tradisi di Filipina. Walaupun demikian tetap ada gesekan internal antar mereka sebagai hasil capaian dari persentuhan mereka dengan budaya luar.
Dalam perspektif budaya, sebuah budaya akan semakin tinggi capaiannya ketika bersentuhan dengan budaya lain. Namun di lain sisi, hal ini mensyaratkan sebuah pertarungan kreatifitas untuk bertahan dan memunculkan bentuk baru dari persinggungan itu. Proses inilah yang kadang memicu adanya konflik dan saling tarik menarik kepentingan.
Filipina juga begitu. Potensi mereka yang cenderung harmonis dan minim gesekan mengalami pergeseran ketika budaya luar menyinggahinya. Islam, Spanyol, Amerika dan Kristen telah mewarnai sejarah Filipina dengan sumbangannya masing-masing.
Islam yang datang ratusan tahun sebelum Spanyol dan Amerika telah membentuk perkawinan yang mapan dan tidak menimbulkan gesekan berarti. Bahkan Islam menjadi sistem kepercayaan social-budaya masyarakat Filipina sendiri. Walaupun Islam sendiri merupakan budaya yang datang dari luar, masyarakat Filipina menganggapnya sebagai identitas mereka. Hal ini terjadi karena budaya baru yang datang selanjutnya cenderung tidak membaur sehingga melahirkan reaksi dari masyarakat.
Sikap ini menjadi kompleks karena Spanyol, Amerika dan Kristen memilih jalan frontal menghadapi kaum muslim. Inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan di Filipina. Masyarakat Filipina (selatan) akhirnya membangun pertahanan dari diri dan sejarah mereka yang dianggap merupakan bagian dari identitasnya. Terbentuklah masyarakat Filipina muslim yang gigih mempertahankan diri.
Fakta adanya diskriminasi dalam perlakuan dan pemberian hak politik terhadap muslim Filipina Selatan menjadi penentu signifikan lainnya. Sejak masa penjajahan Spanyol dan Amerika, dilanjutkan oleh pemerintah Filipina setelah kemerdekaan, tidak memberikan ruang kaum muslim mengekspresikan kebebasan politik mereka atas dasar kesadaran, keyakinan dan harapan yang mengakar dari sejarah dan masa lalu mereka. Bahkan kaum muslim menjadi kelompok minoritas yang secara agama, politik dan ekonomi tertinggal dari teman senegaranya yang lain. Hal lain yang lebih menyakitkan bagi kaum muslim  adalah kebijakan diskriminatif yang kadang diselingi dengan kebijakan pemerintah yang seolah-olah menguntungkan kaum muslim. Kebijakan ini sering merupakan tarik ulur untuk menyelesaikan masalah dengan lebih dahulu mengobatinya dengan mengeluarkan hal tersebut. Kalaupun kebijakan tersebut menguntungkan bagi kaum muslim, hal tersebut bukan merupakan kebijakan strategis yang akan merubah konstalasi konflik berkepanjangan antar kedua pihak.
Pola ini terlihat ketika terjadi ketegangan setelah pemerintah secara sepihak mengeluarkan kebijakan akan mengadakan referendum untuk menentukan otonomi sebagaimana yang telah disepakati dalam Perjanjian Tripoli. Pada saat itu, pemerintah memberlakukan hukum Islam dalam perkawinan dan warisan. Sebuah kebijakan yang seharusnya diberlakukan sejak dulu, jika didasarkan pada pemikiran politik harmonis dan multicultural. Begitu juga ketika pemerintah tiba-tiba membentuk Kementrian Urusan Agama Islam. atau bank Islam.
Tentunya, tidak bisa dinafikan pula pandangan minor terhadap kaum muslim yang selalu dikesankan terbelakang, miskin dan brutal. Padahal kondisi ini, jika pun benar, adalah akibat kebijakan diskriminatif dan perlakuan tidak adil mereka pada masa silam. Pandangan minor ini, pada akhirnya, menjadi dasar untuk menjustifikasi dan melegitimasi sikap dan kebijakan mereka dalam menyikapi permasalahan kaum muslim Filipina Selatan.
Untuk melihat konflik Filipina lebih jernih, perspektif orisinal kajian budaya mengenai masyarakat Filipina sebelum datanganya budaya luar tersebut perlu juga diperhatikan. Walaupun Islam, Kristen, Spanyol dan Amerika memberi pengaruh luas bagi masyarakat, tetap saja ada ingatan masa lalu mereka mengenai harapan besar masyarakat mereka yang besar dan bersatu. Dalam perspektif ini, tidak ada perbedaan utara dan selatan, muslim atau bukan. Hal ini terungkap dalam mitos primodial awal mereka yang hidup jauh sebelum terbentuknya Filipina modern sekarang.
Faktor-faktor di atas merupakan kelebihan dan juga sekaligus kelemahan bagi Filipina. Bagaimanapun, proses selanjutnya yang juga menjadi bagian dari sejarah Filipina yang telah membentuk karakter dan identitas mereka secara berbeda. Filipina Selatan dengan identitas muslim dan sejarah panjang mereka melawan penjajah, sedangkan Filipina Utara dengan identitas Kristen dan sikap komprominya dengan penjajah. Namun demikian, pembacaan atas kelebihan dan kekurangan serta penelusuran akar budaya masyarakat di atas akan menjadi dasar yang baik untuk memahami dan menjembatani konflik berkepanjangan Filipina yang masih terus bergejolak sampai saat ini.
Pada masa akhir-akhir ini, seiring dengan berbagai perubahan, terjadi berbagai geliat budaya yang menunjukkan eksistensi keislamannya. Pendatang dengan motif ekonomi yang datang ke jantung-jantung Filipina banyak yang beragama Islam. Kelompok ini mempunyai tempat tersendiri dalam perkembangan Islam saat ini. Dalam beberapa tempo, muncul perkampungan-perkampungan Islam di Manila, orang-orang yang baru masuk Islam mengorganisir dirinya dalam kegiatan-kegiatan social, bangunan seperti masjid dan sekolah dengan identitas Islam mengalami peningkatan. Tentunya, fenomena ini sedikit tidak akan berpengaruh pada konflik panjang yang terjadi. Masyarakat Filipina akan semakin menerima pluralitas dan kenyataan adanya kelompok dan identitas selain diri mereka.
Walaupun pada kenyataannya masih sulit diingkari bahwa memang terjadi pengorganisiran kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu selama ini, namun tingkat kesadaran masyarakat dan perubahan pola kebijakan pemimpin kedua belah pihak yang semakin menyadari posisi mereka masing-masing diharapkan bisa mengurangi, meredam atau bahkan menyelesaikan permasalahan yang membelit mereka.
Akhirnya, konflik berkepanjangan ini harus melihat peran masyarakat Filipina sendiri. Dalam rentang panjang konflik yang terjadi, mereka adalah subyek dan juga obyek yang banyak dirugikan. Konflik lebih banyak diperankan oleh elit-elit politik yang kadang hanya memperhitungkan kepentingan mereka sendiri tanpa menyelami keinginan masyarakat secara lebih luas. Di sinilah peran penting dari Bangsamoro people’s Consultative Assembly yang merupakan wadah sipil yang memperjuangkan kepentingan masyarakat secara umum. Mereka mengajukan pilihan untuk memberikan pada masyarakat ruang menyatakan pendapatnya sendiri dalam menentukan corak dan bentuk Filipina yang diharapkannya, baik itu otonomi, federasi atau independen.
Tentunya, dengan mempertimbangkan akar sejarah kaum muslim yang panjang, perjuangan mereka melewan imperialisme dan identitas mereka yang sudah terbentuk selama perjuangan politik selama ini, patutlah pemerintah Filipina menyadari bahwa saudara mereka di Selatan merupakan entitas yang yang seharusnya berdiri sendiri. Kesadaran ini bukanlah sebuah keegoan untuk mempertahankan kebijakan yang tidak berurat mengakar tanpa mempertimbangkan komunitas yang ada, tapi lebih merupakan sebuah pemahaman akan kebersamaan sebagai masayarakat yang secara geografis dan budaya adalah sebuah kesatuan. Hidup dalam ruang lingkup yang sama tidak seharusnya dilakukan dengan pemaksaan untuk sebuah keseragaman, namun harus dalam bingkai persandingan harmonis dengan perbedaan-perbedaan. Artinya, pilihan terbaik bagi kaum muslim Filipina Selatan adalah hidup dengan identitas dan hak merekabyang selama ini terabaikan. Entah itu dengan pemberlakuan Perjanjian Tripoli atau berada dalam sebuah negara independen. Amin

H.    Kesimpulan
Sejarah masa lalu kaum muslim Filipina Selatan telah membentuk sebuah kesadaran akan adanya pemerintahan independen yang berbeda dengan Filipina Utara. Perbedaan sejarah dan keyakinan membuat mereka mempunyai ‘rasa kebangsaan’ yang berbeda.
Perlakuan dan pengalaman selama penjajahan semakin memperkuat dan memperlebar perbedaan tersebut sehingga langkah penggabungan yang dilakukan Spanyol dan Amerika terhadap Filipina Utara dan Filipina Selatan merupakan kebijakan yang menabur api dalam sekam.
Penyelesaian masalah yang lamban dan tidak maksimal dari pemerintah Filipina atas muslim problem menimbulkan gejolak berkepanjangan yang belum menemukan kata sepakat. Kaum muslim sendiri berada dalam perpecahan yang berjalan sendiri-sendiri. Berbagai kelompok (MNLF, MILF dan kelompok Abu Sayyaf) memang terus berjuang, namun untuk mencapai tujuan mereka masing-masing.
Kelompok-kelompok muslim sendiri belum menemukan formula yang bisa menyatukan mereka dalam perjuangan. Kondisi sosial-budaya yang beragam dan landasan pemahaman yang beraneka serta pengaruh luar, baik Islam atau non-Islam, ikut pula menentukan keragaman tersebut.
Dukungan negara-negara muslim dengan menfasilitasi konflik Filipina dan kepentingan Amerika memberantas terorisme bertemu dalam kerangka perdamaian. Namun, di sisi lain, hal tersebut berarti menjadikan muslim Filipina Selatan sebagai ajang bertemunya berbagai kepentingan.
Oleh karena itu, penguatan internal dalam bentuk peningkatan kesadaran akan pentingnya persatuan dan adanya proses menjembatani berbagai pemahaman dan prinsip yang berbeda bisa berdampak positif bukan hanya untuk kaum muslim saja tapi juga pihak-pihak luar yang terlibat dalam proses penyelesaian muslim problem ini.


 Daftar Pustaka

Abu Bakar, Carment A., “The Advent and Growth of Islam in the Philippines”, dalam K. S. Nathan & M. Hashim Kamali (ed), Islam in Southeast Asia: Political, Social and strategic Challenges for 21th Century (Singapura: ISEAS, 2005

Abubakar, Carman A., “Unsur-Unsur dalam Budaya Politik Masyarakat Tausug, Filipina”, dalam Saiful Muzani (ed), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:LP3ES, 1993

Azra, Azyumardi, Renaisans Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Remaja Rodakarya, 2006

Eickelman, Dale F., James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, terj. Rofiq Suhud, Bandung: Mizan, 1998

Encarta Microsoft Student, 2008

Greshman, John, “Peta dan Prospek Gerakan Islam di Filipina”, dalam Moeflich Hasbullah (ed), Asia Tenggara Konsentrasi Baru: Kebangkitan Islam, Bandung: Fokus Media, 2003

Gowing, Peter G., “Muslim Filipino Minority”, dalam Raphael Israeli (ed), The Crecent in the East: Islam in Asia Major, USA: Curzon & Humanities Press, 1982

Harun, Lukman, Potret Dunia Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985

Hidayat, Ahmad Taufiq, Potret Politik Gerakan Islam Asia Tenggara, dalam http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/01/

http://www.berita2.com/internasional/asia--pasifik/3925

http://www.berita2.com/internasional/asia--pasifik/3925 dan www. Suaramedia. Com

Hutchison, Billye G., Abu Sayyaf, Counterproliferation Papers No. 49, Alabama: USAF Counterproliferation Center, 2009

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1998

Liow, Joseph Chinyong, Muslim Resistance in Southern Thailand and Southern Philippines: Religion, Ideology and Politics (Washington: East-West Center Washington, 2006), versi online dalam www. Eastwestcenterwashington. Org/publications

M. Lingga, Abhoud Syed, Conflict in Mindanao: Root Causes and Status, makalah disampaikan pada seminar Toward Liberating Democracy: Devolution of Power Matter, di Bangkok, Thailand pada tanggal 16-17 Januari 2007

Majalah Hidayah, edisi special Idul Fitri 1425 H, dalam http://peperonity.com/go

Majul, Cesar A., Dinamika Islam Filipina, terj. Eddy Zainurry, Jakarta: LP3ES, 1989

McAmis, Robert Day, Malay Muslim:The History and Challenge of Resurgent Islam in Southeast Asia (UK: Eerdmans, 2002

Noble, Lela Garner, “The Philippines: Autonomy for the Muslims”, dalam John L. Esposito (ed), Islam in Asia: Religion, Politics and Society, New York: Oxford University Press, 1987

Riswinarno, “Peradaban Islam Pra-Modern di Asia Tenggara”, dalam Siti Maryam, dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2002

Ressa, Marissa A., Seeds of Terror: An Eyewitness Account of al-Qaeda’s Newest Center of Operation in Southeast Asia, New York: Free Press, 2003

The Oxford World Encyclopedia, Philipines, Oxford University Press, iFinger Version 2.0, 2001





[1] Sebagai salah satu contoh adalah kasus Basin dan Cotabato. Di Basin, pada tahun 1918 hanya terdapat 24 penduduk Kristen. Jumlah ini meningkat drastis pada tahun 1941 menjadi 8.000 jiwa dan 93.000 jiwa pada tahun 1960. Sedangkan di Cotabato, pada tahun 1939 mempunyai komposisi penduduk 55% Islam dan 45% Kristen. Sedangkan pada tahun 1948 komposisi ini berubah jauh menjadi 35% Islam dan 65% Kristen.
[2] Sebuah peristiwa yang belum diungkap secara jelas sampai saat ini. Ada sebuah versi mengatakan, pemerintah merekrut para pemuda untuk dilatih secara militer guna dipersiapkan sebagai pasukan untuk menyerang Sabah. Ketika rencana tersebut diketahui, para pemuda Islam menolak untuk melawan saudara mereka sendiri. Penolakan ini diselesaikan dengan membunuh para pemuda muslim tersebut. Hal ini terbongkar karena salah satu pemuda tersebut ada yang selamat.