Cari Blog Ini

Entri Populer

Rabu, 26 Oktober 2011

ISLAM ANDALUSIA


La sendradea

Abstrak
        Sejarah Andalusia atau Spanyol merupakan khazanah tak terbantahkan bagi umat Islam dan Eropa masa kini. Proses interaksi dan transformasi selama tujuh abad menghasilkan produk budaya dan ilmu pengetahuan yang kaya dan beraneka yang tidak hanya mampu menjadi sumber inspirasi, tetapi juga menawarkan pertemuan berbagai akar budaya yang masih bias dirasakan sampai masa sekarang.
            Kondisi geografis, social-politik dan budaya Andalusia abad VIII memberi ruang yang kondusif bagi agama Islam untuk bereksplorasi dan berdialog dengan daratan Eropa. Pada tahap ini terjadi hubungan fluktuatif antara umat Islam dan Eropa dengan proses take and give dalam artinya yang paling luas.
            Pada akhirnya, walaupun diakhiri dengan hengkangnya Islam dari Andalusia, produk eksplorasi dan interaksi tersebut dalam bidang budaya dan ilmu pengetahuan menjadi fondasi dan pengantar Eropa menuju Renaissance serta terbukanya wilayah-wilayah baru bagi umat Islam.
       
Pendahuluan
Islam Andalusia menempati posisi penting dalam sejarah Islam. Tumbuh pada masa penyebaran Islam, berkembang pada masa transisi dan bertempat di jalur simpang tiga benua menempatkannya dalam posisi strategis pada arus pembauran berbagai macam budaya. Dalam perkembangannya, Islam Andalusia bercorak khas sebagai penerus kejayaan Baghdad yang berdiri tegak di bibir Eropa.
Sebagaimana lazimnya sebuah kekuasaan, Andalusia tidak luput dari timbul tenggelamnya berbagai kelompok kepentingan. Dinamika politik, sosial dan budaya mengalun mengiringi hampir delapan abad penguasaan Islam atas daerah ini. Selama itu pula proses turun naiknya sebuah kebudayaan berlangsung. Selama itu pula corak Islam menelisik dan memberi warna penganutnya dan daerah kekuasaanya.
Meneropong masa lalu, mempelajari sejarah, seharusnya lah tidak ditinjau hanya dari aspek kejayaan dan keruntuhannya. Lebih dari itu, irama dan pasang surutnya patut menjadi perhatian pula karena proses inilah yang menentukan perjalanan sejarah selanjutnya.
Islam Andalusia juga demikian. Berbagai interaksi dan komunikasi atau unsur dan pelengkap serta hambatan dan capaian patut menjadi perhatian. Artinya, proses budaya memberi arti penting bagi kelangsungan Islam Andalusia. selain itu, proses ini juga mengandaikan adanya perjumpaan dengan berbagai budaya yang menghasilkan corak dengan warna yang khas. Dengan segala kekurangan, tulisan ini mencoba menelusuri ragam proses dan perjumpaan tersebut dalam sejarah Islam Andalusia.
Proses budaya secara internal dan eksternal ini yang mengantarkan Andalusia ke puncak peradabannya sehingga mampu memberikan sumbangsihnya bagi dunia dalam berbagai segi. Dan tidak pula dilupakan, peran besar kaum muslim Andalusia dalam mengantar Barat menuju Renaissance sehingga mereka mampu menegembangkan kebudayaan seperti sekarang.

Kilasan Sejarah Politik Islam Andalusia
Islam masuk ke Andalusia pada tahun 711 M bertepatan dengan penyerangan yang dilakukan oleh Thariq bin Ziyad. Sebelum penyerangan ini terjadi, telah dikirim sejumlah kecil pasukan yang dipimpin Tharif bin Malik untuk melakukan spionase terhadap kekuatan dan pemetaan kondisi wilayah.
Penyerbuan Thariq bin Ziyad berhasil menaklukkan hampir separuh kekuasaan Andalusia saat itu. Keberhasilan ini disambut lagi dengan kedatangan Musa bin Nushair untuk menyempurnakan penaklukan setahun setelah kedatangan Thariq bin Ziyad. Hasilnya, tidak lebih dari tujuh tahun seluruh daerah Andalusia berada dalam pelukan kaum muslim, kecuali beberapa daerah kecil di utara.
Dengan demikian, dimulailah babak baru sejarah Andalusia yang dikuasai kaum muslim selama beberapa abad kemudian. Sejarah politik Islam-Andalusia ini terbagi dalam tujuh babak:
1.      Masa kewalian
Masa ini dikenal juga dengan periode dependen. Yaitu ketika Andalusia menjadi daerah bagian kekuasaan dinasti Umayyah di Damaskus. Periode ini dimulai pasca penaklukan oleh Thariq dan Musa bin Nushair. Sejak saat itu, Musa sendiri yang menjadi penguasa di Andalusia. Pemanggilan Musa oleh khalifah di Damaskus pada tahun 714 M menandai dimulainya pertarungan politik antar kelompok-kelompok yang ingin berkuasa.
Musa digantikan oleh anaknya Abdul Aziz sampai tahun terbunuhnya, 716 M. Pembunuhan ini adalah rentetan dari kepentingan politik pusat yang berawal dari ketidakpuasan khalifah atas penaklukan Andalusia. Abdul Aziz digantikan oleh Ayyub ibn Habib yang tidak bertahan lama dank arena permasalahan yang sama. Pengganti Ayyub adalah al-Hurr ibn Abdurrahman yang memerintah selama dua tahun (716-718). Pada masanya, Kordoba dijadikan sebagai ibukota. Pada masanya pula diadakan penyerangan ke wilayah Prancis selatan. Ia gugur dalam salah satu penyerangan tersebut. Selanjutnya, Andalusia dipimpin oleh al-Anbasah ibn Sahim  (721-725) yang dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Ia terbunuh saat masyarakat Andalusia terbagi dalam berbagai faksi politik.
Enam tahun berikutnya adalah masa dimana terjadi pengangkatan dan penggulingan penguasa sebagai akibat dari akumulasi konflik politik. Berbagai golongan berebut kursi kekuasaan sehingga tidak ada penguasa yang mampu bertahan lama. Pada tahun 730 diangkatlah Abdurrahman al-Ghafiqi sebagai penguasa Andalusia. Walaupun hanya bertahan dua tahun, dia mampu melakukan perluasan wilayah sampai Tours (sekitar 200 mil dari Paris). Di daerah Tours ini terjadi peperangan yang berakhir dengan terbunuhnya Abdurrahman dan kekalahan kaum muslim. Persatuan dan kesatuan yang retak karena konflik internal terus menerus menjadi salah satu sebab kekalahan dalam perang tersebut.  Sampai akhirnya naiklah Yusuf ibnAbdurrahman al-Fihri. Penguasa terakhir masa kewalian yang kemudian dapat dikalahkan oleh Abdurrahman al-Dakhil.
2.      Masa keamiran
Masa keamiran atau disebut juga masa independen adalah periode pertama dari pemerintahan keluarga Umayyah di Andalusia (dinasti Umayyah II). Disebut masa keamiran karena para penguasanya menggunakan gelar ‘amir’ sebagai wujud pengakuan kekhilafahan yang dipegang dinasti Abbasyiah di Baghdad, walaupun mereka memproklamasikan dirinya lepas dari kekuasaan Abbasyiah.
Kekalahan penguasa Andalusia, Yusuf ibn Abdurrahman al-Fihri, dari Abdurrahman al-Dakhil menandai dimulainya penguasaan keluarga Umayyah atas Andalusia. ia adalah cucu dari Hisyam ibn Abdul Malik, khalifah kesepuluh dinasti Umayyah di Damaskus. Sebagai pendiri dinasti Umayyah II, Abdurrahman, yang berkuasa selama 32 tahun, mampu mengatasi berbagai ancaman dari dalam dan luar negeri. Demikian juga, ia mampu membuat fondasi pemerintahan yang kokoh untuk generasi penerusnya.
Para pengganti Abdurrahman meneruskan berbagai kemajuan yang sudah dirintis sebelumnya. Mempertahankan wilayah, melakukan pembangunan fisik, mengembangkan ilmu pengetahuan dan memakmurkan rakyat terus dilakukan sampai mencapai masa kejayaannya pada masa amir yang kedelapan, Abdurrahman III.  Ia adalah amir yang terakhir sekaligus menjadi khalifah pertama masa kekhalifahan. Hal ini disebabkan karena dinasti Abbasyiah yang sudah merosot dan dinasti Fatimiyah yang memproklamasikan kekhilafahan.
Pada masa keamiran ini terdapat delapan amir dinasti Umayyah II, yaitu Abdurrahman I (756-788), Hisyam I (788-796), al-Hakam I (796-822), Abdurrahman II (822-852), Muhammad I (852-886), al-Mundzir (886-888), Abdullah (888-912) dan Abdurrahman III (912-929, jadi khalifah 929-961).
3.      Masa kekhalifahan
Pengangkatan Abdurrahman III sebagai khalifah memulai periode kedua pemerintahan dinasti Umayyah II di Andalusia. Namun disisi lain, periode ini sesungguhnya juga merupakan awal dari merosotnya pemerintahan ini. Setelah mangkatnya Abdurrahman III, mulai terlihat perebutan kekuasaan baik antar keluarga atau antar pejabat yang memprebutkan kekuasaan. Dominasi keturunan al-Amiri sejak pengangkatan al-Hakam II memperlihatkan lemahnya konsolidasi politik keluarga Umayyah. Dinasti Umayyah II akhirnya runtuh ketika Hisyam III disingkirkan oleh sekelompok angkatan bersenjata. Yaitu ketika Wazir Abu al-Hazm ibn Jauhar memaklumkan penghapusan khilafah untuk selamanya.
Pada masa kekhalifahan ini terdapat Sembilan khalifah, yaitu: Abdurrahman III (menjadi khalifah 929-961), al-Hakam II (961-976), Hisyam II (976-1009,1010-1013), Muhammad II (1009-1010), Sulaiman (1009-1010,1013-1016), Abdurrahman IV (1018), Abdurrahman V (1023), Muahammad III (1023-1025), Hisyam III (1027-1031).

4.      Masa Muluk al-Thawaif
Terhapusnya kekhalifahan di Andalusia memunculkan kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Thawaif/Reyes de Taifas) diberbagai daerah. Mereka berlomba mendirikan rezim pemerintahan baru, perang saudara dan sibuk memperebutkan wilayah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masa ini (berlangsung sejak 1031-1093) diwarnai oleh pemerintahan yang lemah, terpecah dan saling berperang. Hal ini didukung oleh tidak adanya penguasa tunggal di Andalusia.
Selama berlangsungnya masa ini, terdapat lebih dari 30 kerajaan kecil di Andalusia. beberapa di antaranya yang terpenting adalah: pemerintahan az-Zairiyah di Granada, pemerintahan al-Hamudiyah di Malaga, pemerintahan al-Hudiyah di Saragosa, pemerintahan al-Ibadiyah di Sevilla, pemerintahan al-Jahwariyah di Kordoba, pemerintahan Dzu al-Nun di Toledo.
Selain nama-nama tersebut, masih banyak lagi kerajaan lainnya yang tersebar di seantero kekuasaan Islam. Mereka juga disibukkan dengan konflik antar mereka sendiri.
5.      Masa Dinasti Murabithun
Dinasti Murabithun berawal dari sebuah paguyuban militer keagamaan yang didirikan pada paruh abad XI di Senegal, Afrika. Salah seorang pendirinya, Yusuf ibn Tasyfin, diminta bantuan oleh penguasa Sevilla untuk melawan pasukan Kristen. Keberhasilan Yusuf membantu penguasa Sevilla berlanjut dengan penaklukkan daerah-daerah lain. Maka berkuasalah dinasti Murabithun di Andalusia (1090-1147).
6.      Masa Dinasti Muwahidun
Pendirinya adalah Muhammad ibn Tumart. Dinasti ini bermula dari sebuah gerakan agama-politik untuk memprotes paham antropomorfisme berlebihan yang telah menyebarluas di kalangan masyarakat. Selanjutnya, gerakan ini menjelma menjadi sebuah kekuatan yang mampu menyaingi dan bahkan menggulingkan kekuasaan dinasti Murabithun.
Runtuhnya dinasti Murabithun, diiringi dengan serangkaian penyerangan selama lima tahun, membawa dinasti Muwahidun menjadi penguasa Andalusia. Selama penguasaannya (1147-1212), dinasti Muwahidun banyak disibukkan oleh peperangannya dengan kekuatan Kristen sampai akhirnya mereka mengalami kekalahan dalam perang Las Navas de Tolosa (al-‘Uqab).

7.      Masa Dinasti Banu Ahmar
Hilangnya kekuasaan dinasti Muwahidun di Andalusia menyebabkan terpecah-belahnya kekuatan politik umat Islam. Satu-persatu daerah Islam jatuh dalam pelukan Kristen dan yang tersisa hanyalah Granada. Pada saat itu, Granada dikuasai oleh Banu Ahmar (1232-1492) yang didirikan oleh Muhammad ibn Yusuf ibn Nashr atau Ibn al-Ahmar.
Dinasti Banu Ahmar merupakan representasi terakhir kekuatan Islam di Andalusia sampai kemudian mereka dikalahkan kekuatan gabungan Kristen pada tahun 1492. Dengan demikian, setelah mendudukinya selama hampir delapan abad, Islam harus keluar dari tanah Andalusia.

Deskripsi Geografis dan Kondisi Sosial
Andalusia (Andalus) adalah nama penyebutan Arab untuk wilayah semenanjung Iberia yang saat ini merupakan wilayah Spanyol dan Portugal. Kata ‘Andalus’ dalam bahasa Arab memiliki beberapa arti, yaitu sesuatu yang terselubung atau sesuatu yang tergelincir lantaran licinnya.
Andalusia dibatasi dari Afrika Utara dengan selat Gibraltar seluas empatbelas mil di sebelah selatan. Sedangkan di sebelah utara dipisahkan dari wilayah Eropa lainnya, khususnya Prancis, dengan pegunungan Pirennia sepanjang tiga ratus mil. Sebelah timur dan barat Andalusia dikelilingi oleh Laut Tengah dan Samudera Atlantik. Andalusia adalah wilayah yang unik dan strategis karena merupakan wilayah transisi antara benua Afrika dan Eropa, dan juga sekaligus dihubungkan dengan benua Asia melalui jalur Laut Tengah. Secara geografis Andalusia merupakan wilayah berbukit dan hutan, sebagian lagi wilayah yang subur untuk pertanian. Sumber daya alamnya melimpah, seperti hasil hutan, emas, perak, tembaga dan lain-lain. Sebagian lagi, di wilayah timur dan selatan, sangat subur dan kaya dengan hasil padi, buah dan sayuran. Dengan posisi ini, Andalusia menyuguhkan bentangan dataran yang subur dan komunikasi laut strategis yang mampu menjembatani perdagangan dan interaksi lainnya antara Afrika dan Eropa, Timur dan Barat, Laut Tengah dan Samudera Atlantik.
Kondisi geografis Andalusia yang berbukit menumbuhkan daerah yang terisolir antara satu dan yang lain. Akibatnya, masing-masing berproses sendiri-sendiri dalam membangun tradisi dan kebiasaan mereka. Muncullah karakter dan pola yang berbeda-beda di seantero Andalusia.
Kaum muslim datang ke Andalusia terjadi sebelum penyerbuan Thariq bin Ziyad, yaitu sekitar dua kali kesempatan di sekitar tahun 648 M, pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Pendaratan dan penyerangan ini lebih bersifat eksploratif dan kebutuhan ekonomi. Penjelajahan muslim saat itu akan cenderung menelusur ke arah barat, terutama jika bergerak dari arah Mesir, karena alasan geografis dan juga ekonomis. Afrika Utara ke arah barat yang lebih makmur dan hanya dibatasi oleh selat kecil dengan Andalusia menjadi lebih menarik dan menjanjikan daripada kondisi Afrika Utara yang dibatasi oleh gurun luas dan liar di sebelah selatan. Walaupun demikian, ekspansi ini tidak banyak berpengaruh bagi eksistensi Islam di Andalusia karena tidak ada pergerakan massif yang menindaklanjuti baik secara ekonomi atau politik. Selain itu, Afrika Utara yang belum kokoh secara politik dan pembacaan minim terhadap Andalusia menjadi faktor lain tidak berkembangnya Islam masa itu.
Sejarah gemilang Andalusia biasanya dimulai dari penyerbuan Thariq bin Ziyad pada tahun 711 M. Sebuah penyerbuan yang mengawali sejarah Islam di Andalusia selama beberapa abad berikutnya. Penaklukan terhadap wilayah Andalusia yang berbukit dan terisolir satu dengan lainnya, yang dilakukan selama beberapa tahun, membentuk kantong-kantong muslim di berbagai wilayah. Tempat pemukiman yang berserakan ini sangat besar perannya bagi Arabisasi dan islamisasi karena telah mempercepat proses penyerapan, percampuran dan adaptasi dua budaya. Pada tahap ini, muncul golongan elit Arab (Asli) dan Arab campuran yang lebih dikenal dengan Hispano-Arab. Pada masyarakat Andalusia saat itu, selain dua golongan ini, ada juga Yahudi, Kristen, Barbar dan Slavia.
Golongan Arab sendiri terbagi menjadi dua, Arab utara (Mudhar) dan Arab selatan (Yamani). Arab Mudhar lebih banyak tinggal di Toledo, Saragosa, Sevilla dan Valencia. Arab Yamani tinggal di Granada, Kordoba, Sevilla, Murcia dan Badajoz. Wilayah-wilayah ini adalah wilayah subur di bagian selatan Andalusia. Sedangkan bagian utara ditempati oleh orang-orang Barbar. Sebuah wilayah yang berbukit, tandus dan wilayah perbatasan dengan wilayah Kristen. Slavia adalah orang-orang dari Eropa timur dan barat yang dijadikan budak atau tentara. Sementara orang Yahudi menyebar di sejumlah wilayah, namun posisi mereka masih merangkak setelah terjadinya persekusi penguasa Kristen dan mereka memberontak. Sedangkan orang Kristen banyak tinggal di beberapa daerah yang belum tersentuh penaklukan di bagian selatan. Namun ada juga orang Kristen yang tetap tinggal di daerah muslim, tetap memegang teguh agama mereka, dan mempunyai peran yang tidak kecil dalam bidang politik dan intelektual. Mereka ini dikenal dengan ‘Mozarab’, dari kata ‘Musta’ribun (Arabizers)’.
Adanya polarisasi dan pembagian wilayah secara tidak langsung ini menimbulkan ketegangan di sepanjang sejarah Islam Andalusia. Pada masa awal, permusuhan faksional antar Arab (Mudhar dan Yamani) mewarnai beberapa perseteruan yang berujung konflik. Begitu juga dengan orang Barbar yang merasa tidak puas dengan perlakuan orang Arab melakukan pemberontakan. Namun hal ini tidak menimbulkan gejolak mendalam sehingga mampu dilakukan konsolidasi politik secara menyeluruh. Faktor lain yang memperlancar konsolidasi ini adalah
berkurangnya penguasaan armada Bizantium terhadap wilayah barat Laut Tengah. Selain itu, kemakmuran ekonomi yang terus meningkat[1] mempunyai andil besar. Yaitu, pesatnya pertumbuhan hasil pertanian dengan diperkenalkannya sistem irigasi ala Timur dan adanya model-model baru pembudidayaan berbagai tanaman.
Konsolidasi politik berhasil membawa Andalusia pada pencapaian tinggi taraf sosial, ekonomi, budaya dan politik. Daerah berlomba melakukan inovasi dan pengembangan berbagai bidang untuk mencapai kemakmuran yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan persaingan antar berbagai kelompok baik dari garis politik (pusat-daerah, elit provinsial dan elit pedagang) atau internal daerah (antar berbagai kelompok kepentingan seperti antara warga kota dan tentara Barbar, non-Arab yang baru masuk Islam dan orang Arab). Setelah runtuhnya dinasti Umayyah, kelompok-kelompok ini, ditambah lagi dengan elit lokal lainnya, berlomba menjadi penguasa dan masing-masing menjadi negara merdeka dengan mempunya angkatan bersenjata, istana dan administrasi sendiri.
Menjamurnya penguasa setelah runtuhnya dinasti Umayyah, yang berarti tidak adanya pemerintahan pusat, tidak membuat masyarakat Andalusia terpecah belah. Hukum dan identitas muslim Arab masih tetap diterima, perdagangan regional dan internasional tetap berjalan bahkan berkembang pesat. Ketika perpecahan politik semakin tajam, baik dengan adanya serangan pihak Kristen atau pergantian kekuasaan (Muluk al-Thawaif, Murabithun dan Muwahidun), kehidupan kultural ini tetap eksis dengan berada di tangan para penguasa lokal atau para pedagang.[2]
Namun hal ini tidak berlangsung selamanya. Ketika Granada jatuh, pihak Kristen melembagakan reconquista,[3] kaum muslim kehilangan otonomi mereka di daerah Kristen dan terjadinya pemaksaan untuk penyeragamaan agama, vitalitas kultural umat Islam Andalusia tidak hanya menurun tapi harus menelan pil pahit untuk kehilangan sebuah pencapaian yang dirajut selama berabad-abad.

Capaian dan Interaksi Budaya
Wilayah luas kekuasaan muslim yang membentang dari Andalusia di Barat dan India di Timur mengalami proses pembauran antara budaya asli dan pendatang. Dalam coraknya yang paling umum proses ini melahirkan budaya yang merupakan gabungan keduanya namun dalam bentuk baru yang khas, dan sering menjadi identitas wilayah tersebut. Warna-warna inilah yang menjadi corak dan menambah kaya khazanah budaya Islam serta melahirkan konsep, karya dan rasa yang masih bisa dinikmati sampai saat ini.
Tidak bisa dipungkiri, untuk pertama kalinya, elemen Arab sangat mendominasi di wilayah Islam. Arabisme adalah corak dominan dalam pemerintahan islam. Oleh karena kecenderungan astetis Arab adalah bahasa dan puisi, ketertarikan awal tertuju pada dua bidang ini. Selanjutnya, bidang pengetahuan lainnya dieksplorasi baik dengan pengembangan atau penemuan-penemuan baru.
Konsep kaum muslim tentang komunitas mereka yang universal dan menyeluruh menyangga penyebaran pemikiran di seluruh wilayah Islam. Interaksi, komunikasi dan take-give berlangsung massif sampai pelosok-pelosok, sehingga perjalanan (mushafir) Timur-Barat atau sebaliknya merupakan hal yang lumrah pada saaat itu. Maka tidak mengherankan terjadi saling pengaruh-mempengaruhi antar satu daerah dengan daerah lainnya.
Peradaban Islam Andalusia lahir dari gabungan pengaruh Andalusia sendiri, Barbar dan kultur Islam yang didukung kemakmuran ekonomi. Corak budaya khas yang dimunculkan merupakan tarik ulur antara pengaruh-pengaruh tadi dengan kondisi situasional yang melingkupinya.
Bahasa Arab masuk ke Andalusia bersamaan dengan masuknya Islam. Bahasa Arab dipelajari oleh berbagai kelompok dan lapisan masyarakat sehingga menggeser peran bahasa lokal dan menembus batas-batas keagamaan. Para Mozarab dengan cepat mengadopsi bahasa Arab, tradisi dan tata cara pola hidup muslim pun dan segera menjadi bagian kehidupan mereka. Sebagaimana kecenderungannya, ketertarikan pertama ada pada bahasa dan puisi. Puisi Arab-Spanyol mengembangkan bentuk puisi gaya baru dan hampir memperoleh sensibilitas modern untuk keindahan alami. Bermula dari awal abad XI, sistem lirik muwasysysah[4] dan zajal[5]  (mengenai contohnya lihat Lampiran) telah dikembangkan di Andalusia. Kedua bentuk ini didasarkan atas pengulangan nada-nada chorus yang dinyanyikan secara pasti. Pada masa-masa akhir, keduanya popular di istana Kristen dan popular dengan nama villancio, kebanyakan digunakan untuk nyanyian Kristen, termasuk perayaan Natal. Mengenai muwasysysah dan zajal, berikut sekedar bentuk contoh:

Zajal:
أوقد في قلبي النار ... ولس يريد يطفيه
وسد باب الدار ... أي خذل فيه وأي تيه
يا أحسن الغزلان ... يا كوكب دري
لك تسجد الأغصان ... ويمدح القمرى
؟ويخجل النعمان ... وأنت لا تدري
والعقل فك قد حار ... والوصف والتشبيه

Muwasysyah:
معشر العذال بي من الأقمار ... أغصنٌ ميادة مسن في أكفالي
قد جنا من لاما ... كل عانٍ صب
ببدور ذا ما ... طلعت من قضب
من قدود هاما ... في هواها قلبي
رية الخلخال قد براها الباري ... لعذابي غادة هيجت بلبالي
عجباً للوامق ... روحه موصولا
مستهامٌ زاهق ... حيث نال السولا
وجمال رائق ... زاد فيه القيلا
نهيت والقالي لا يقيم أعذاري ... شغفي قد زاده وهي لا ترعاني
غايتي في الحسن ... غايةٌ لا تدرك
لم يكن في عدن ... مثلها قط يدرك
وكلت بجفنٍ ... لحظات تفتك
فتكة الأبطال كهزبر ضاري ... سحرها قد صاده وهو ذو أشبالي
أين منها البدر ... أين منها الشمس
زان فاها الدر ... والشفاه اللعس
ولماها الخمر ... ليس فيها لبس
لم تزل عن بالي لا وعن أفكاري ... وهي لي منقادة دون ما إدلالي

Pada masa ini istana memainkan peran besar dalam mengembangkan kebudayaan dan pengetahuan yang menyangga peradaban besar Andalusia pada masa kejayaannya. Para penguasa bersinergi dengan cerdik cendikia dan hartawan menyusun pilar-pilar budaya. Lahirlah tradisi intelektual yang melahirkan individu dan kelompok, lembaga dan berbagai pendukung lainnya. Lembaga pendidikan ternama muncul di Kordoba, Sevilla, Malaga dan Granada  yang mempelajari bermacam ilmu seperti tafsir, teologi, filsafat, tata bahasa, puisi, leksikografi, sejarah dan geografi. Berbagai sarana pendukung kemajuan ini seperti buku dan perpustakaan, memacu dikembangkannya tekhnik penjilidan, tinta dan pabrik kertas.
Hubungan harmonis penguasa dan hartawan ini tidak hanya sebatas bidang intelektual saja. Mereka juga berperan penting dalam membangun berbagai bangunan besar dan mewah. Sebagaimana pada daerah kekauasaan lainnya, bangunan yang dibangun di Andalusia juga merupakan ekspresi dari kesetian, kelimpahan dan kekuasaan dari para penguasa dan elit masyarakatnya. Selain istana, ekspresi ini juga terwakilkan pada bangunan lain seperti rumah sakit, sekolah, pemandian umum atau peristirahatan umum.
Seni bangunan Islam Andalusia mencapai puncaknya pada akhir abad X. Yaitu munculnya karakteristik dan bentuk yang jelas menyiratkan kejayaan. Bidang ini, untuk Islam Andalusia, lebih merupakan peleburan dari budaya Timur dan Barat, walaupun sangat sulit memilah-milah unsur ini secara jelas. Jika dilihat dari material dan tekhniknya, banyak didominasi budaya Visighotik (Andalusia). Sedangkan motif dekorasinya memperlihatkan pengaruh Helenistik, yang mungkin saja datang dari pengaruh Visighotik atau justru dari budaya Syiria yang sudah terpengaruh Helenistik.[6]
Dalam bidang seni tulisan, Andalusia menghasilkan tulisan khas yang dikenal dengan ‘andalusi atau qurthubi (Andalusia atau Kordoba)’. Jenis tulisan umum yang dipakai di hampir semua daerah kekuasaan Islam adalah kufi, naskhi, tsuluts atau magribi. Hal yang terakhir ini merupaka tulisan yang lebih banyak digunakan di wilayah Andalusia dan Afrika Utara bagian barat. Tulisan ini dicirikan dengan lengkungan yang terlalu menonjol di bawah garis bentuk akhir huruf-huruf tertentu. Sedangkan andalusi garis-garisnya lebih halus dan lebih padat dengan pemanjangan goresan horizontal dan goresan di bawah garis.
Pada masa akhir Islam di Andalusia, perkembangan seni-budaya terus melaju walaupun konflik politik hampir pada klimaksnya. Pada masa ini, seni bisa dibagi menjadi dua aliran atau corak: seni Mudejar[7] dan seni Granada. Seni Mudejar tidak hanya berarti seni yang dilahirkan orang Mudejar. Lebih kompleks dari itu, seni ini merujuk pada munculnya kesenian pada era peleburan budaya. Yaitu kontinyuitas budaya Islam yang mengalami perpaduan dengan/di wilayah Kristen. Ada dua tipe Mudejar yang umum dikenal, Mudejar Istana dan Mudejar popular. Yang pertama cenderung mengikuti pola-pola Umayyah, salah satu contohnya adalah istana Alcazar di Sevilla. Sedangkan yang kedua merupakan corak dari berbagai wilayah, baik perpaduan atau identitas lokalnya. Contoh tipe kedua ini adalah gereja-geraja Toledo yang dibangun pada abad XII. Jenis corak yang kedua dari masa akhir adalah seni Granada, sebuah seni yang kembali menyeruakkan tradisi Andalusia awal dengan bangunan yang menyiratkan pertahanan dan kemewahan, penjagaan dan perlindungan sebuah tradisi. Contoh yang paling monumental adalah Alhambra.
Dalam bidang arsitektur, model Tapak Kuda (the horse-shoe arch) menjadi keistimewaan arsitektur muslim-Barat. Walaupun kaum muslim bukan penemu model ini, merekalah yang menemukan ruh rancangan structural dan dekoratifnya sehingga menjadi lebih berkarakter. Sebenarnya, model ini berasal dari arsitektur Visighotik, namun dengan tambahan lengkungan ganda untuk menambah ketinggian, misalnya, tidak ditemukan dalam corak Visigoth. Pengembangan selanjutnya adalah dengan menambah hiasan-hiasan pada lengkungannya dan mengelaborasi berbagai dekorasinya. Sekarang, jenis ini dikenal dengan model Lengkungan Moor (Moor Arch).
Beberapa capaian di atas menunjukkan dinamisitas Islam Andalusia yang terus bertahan di tengah berbagai kepentingan politik. Walaupun berada di ujung tanduk secara politik, pada masa akhir keberadaan Islam, gerakan reconquista tidak mampu memusnahkan vitalitas kultural muslim. Juga tidak mampu memadamkan kehadiran kaum muslim. Masa ini justru menunjukkan eksistensi budaya Islam yang terus bergulir. Di lain sisi, kaum muslim (dan Yahudi) tetap bisa aman dan survive pada masa kritis ini disebabkan karena menjadi tulang punggung perekonomian. Jadi, walaupun tidak lagi menjadi penguasa dominan, terdapat kelangsungan substansial dalam organisasi sosial dan politik di kalangan penduduk muslim, baik yang berada di wilayah Kristen atau Islam, yang menyebabkan mereka terus bisa bertahan untuk waktu yang panjang.
Secara umum, pada pertengahan abad XIV posisi muslim memang semakin memburuk. Mereka dibebani berbagai kewajiban finansial tambahan, kehilangan otonomi internalnya dan urusannya ditangani kerajaan. Pada akhir abad empat belas pihak Kristen sangat antusias melakukan kristenisasi Yahudi dan muslim dan terhadap upaya penyeragaman agama. Setelah tragedi Granada 1492, perjanjian yang disepakati dijalankan setengah hati. Tahun 1501 kristen memaksa muslim memilih pindah agama atau keluar dari Andalusia.
Walaupun demikian, capaian dan prestasi atau semangat dan tekad Islam Andalusia tidak akan pernah hilang. Puing-puing peradaban yang masih tersisa sampai saat ini akan selalu bercerita mengenai hal tersebut untuk generasi-generasi selanjutnya. Penutupan fakta tidak selalu bisa menghalangi rekonstruksi peristiwa karena waktu untuk melakukannya selalu ada.
Keberadaan Islam di Andalusia, dengan segala dinamika riuh-rendahnya gelombang politik, ekonomi dan budayanya, seharusnya merupakan posisi penting untuk meneropong keberlanjutan eksplorasi kebudayaan Timur. Selain itu, interaksi Islam dengan Kristen pada masa ini juga seharusnya dijadikan posisi strategis menelusuri akar dari kemajuan Barat.[8] Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam Andalusia adalah jalur keberlanjutan estafeta pengetahuan Yunani, yang sudah dikembangkan dan diberi arti, yang dilanjutkan Barat.

Ilmu Pengetahuan dan Sumbangannya
            Estafeta pengetahuan ini sebenarnya bermula dari timur di Baghdad. Yaitu ketika Bani Abbasyiah mencapai kejayaannya. Andalusia menyusul Baghdad, dan bahkan melampauinya, ketika Bani Abbasyiah mulai mengalami kemunduran dalam segala bidang. Mulai saat itu, terutama mencapai puncaknya ketika mengumumkan kekhilafahannya, Andalusia secara perlahan mengambil alih posisi Baghdad. Proses ini semakin didukung oleh posisi Andalusia yang sangat strategis secara geografis.
            Pengambilalihan dominasi ilmu pengetahuan ini tidak terjadi bergitu saja. Semangat masyarakat Andalusia, dukungan pemerintah dan kerjasama serta kerja keras para pendukung lainnya sangat menentukan kemajuan yang terjadi. Untuk lebih detailnya, beberapa pendukung ini adalah:
1.        Ketika Islam datang ke Andalusia, komposisi masyarakat yang ada dinegeri itu cukup heterogen yang terdiri dari orang Arab, orang Arab-Spanyol, orang Afrika Utara, dan orang Yahudi. Heterogenitas masyarakat tersebut memberikan saham intelektual dan kebudayaan yang cukup hebat yang kemudian melahirkan kembali era kebangkitan ilmu pengetahuan dan peradaban.
2.        Heterogenitas komposisi masyarakat, diikuti dengan heterogenitas agama. Sementara Islam datang dengan semangat toleransi begitu tinggi. Bahkan dengan semangat toleransi itu Islam telah mengakhiri kezaliman keagamaan yang sudah berlangsung sejak lama. Bagi orang Kristen dan orang Yahudi disediakan hakim khusus yang sesuai dengan agama mereka masin-masing. Semua kelompok agama dengan datangnya Islam, mendukung dan menyertai pembangunan peradapan yang berkembang dengan gemilang.
3.        Adanya semangat kesatuan budaya Islam yang timbul pada pemikiran para ulama dalam arti luas. Hal ini terbukti sekalipun dalam konstelasi politik, masyarakat Islam Andalusia melepaskan diri dari Baghdad, dari banyaknya para ulama Andalusia yang mendalami ilmu di Bagdad untuk dikembangkan kemusian di Andalusia.
4.        Persaingan antar Muluk al-Thawa'if ternyata justru menyebabkan perkembangan peradaban. Kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Cordova, semuanya bersaing ingin menandingi Cordova dalam hal kemajuan Ilmu pengetahuan, sastra, seni, kebudayaan.
5.        Adanya dorongan dari para penguasa yang mempelopori kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti Abdurahman I, Abdurahman 11, Abdurahman Ill, dan AI-Hakam II.
Dukungan kuat berbagai pihak ini menjadi tonggak Andalusia bergerak mencapai ketinggian kebudayaan. Prestasi ini bukanlah hal yang datang begitu saja, melainkan melewati usaha keras dengan berbagai tahapannya. Dalam ilmu pengetahuan, penerjamahan besar-besaran karya klasik Yunani, India dan Persia digalakkann, yang kemudian diikuti oleh interpretasi dan komentar atas karya-karya tersebut. Sanggahan dan kritik atas karya tersebut mendorong munculnya teori-teori baru di kalangan kaum muslim sehingga memunculkan konsep-konsep orisinal yang tidak kalah dari sebelumnya. Muncullah berbagai bidang ilmu pengetahuan besar yang tidak hanya ‘membeo’ kebudayaan sebelumnya, tapi lebih dari itu mengembangkan dan menemukan inovasi baru sampai pada tingkat yang tidak pernah dibayangkan oleh mereka yang karya-karyanya diterjemahkan. Cabang ilmu pengetahuan berkembang pesat hingga menjadi sebuah bagian dari tradisi keseharian masyarakat untuk mengeksplor dan mengembangkannya. Walaupun demikian, kemajuan yang terjadi tidak semuanya mencakup seperti yang terjadi di Baghdad. Ilmu pengetahuan seperti filologi Arab, teologi, historiografi, geografi dan ilmu terapan lainnya berkembang lebih lamban. Hal ini karena kaum muslim kurang mempelajari keadaan dan perkembangan masyarakat asli. Sementara bidang seperti ilmu tumbuhan, pengobatan, astronomi dan matematika merupakan sumbangan terbesar kaum muslim Andalusia. Namun hal ini bukan berarti ilmu pengetahuan yang berkembang lamban tadi tidak berkembang secara baik di daerah ini.
Dalam bidang sejarah dam biografi, nama seperti Ibn Khaldun, Ibn al-Khatib, Ibn al-Quthhiyahh dan Ibn al-Faradhi tidak bisa dipandang sebelah mata atas sumbangan keilmuan mereka yang masih bisa dirasakan sampai saat ini. Begitu juga dengan nama al-Bakri, al-Majriti dan al-Zarqali dalam bidang geografi dan astronomi.
Sementara pada bidang yang memang sudah mendapatkan pengakuan akan kebesaran perkembangan dan sumbangan di/dari Andalusia, karya dan penulisnya masih menjadi inspirasi dalam berbagai bidang. Tokoh seperti Ibn Rusyd (Averoes), Ibn Bajjah (Avenpace), Ibn Zuhr (Avenzoar) dan Abu al-Qasim (Abulcasis) tidak hanya mashur di kalangan kaum muslim saja, tapi juga sangat akrab bagi kalangan luar muslim karena sumbangan luar biasa mereka bagi ilmu pengetahuan.
Pada masa kemundurannya, kebudayaan besar ini mulai beralih ke Barat dengan cara yang hampir sama, yaitu lembaga dan penerjemahan. Pada abad XII dan XIII karya-karya kaum muslim di bidang sains, filsafat dan sebagainya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Hal inilah yang mendorong mereka mengembangkan pemikiran dan mendirikan berbagai universitas.
Penemuan-penemuan besar kaum muslim yang diadopsi oleh Barat tidak hanya menyadarkan mereka akan kemajuan kebudayaan kaum muslim, tapi juga memacu mereka untuk memajukan diri mereka sendiri. Universitas-universitas di Andalusia menjadi gerbang utama Barat untuk mendapatkan kesadaran ini. Dan ini pulalah yang mencerahkan paradigma merka yang mengantarkannya pada masa Renaissance. Tetapi kenapa Barat menganggap tonggak Reanaissance pada abad XVI di Florence Italia? Dan menganggap kesepakatan meninggalkan ‘agama’ sebagai gerbangnya?

Penutup
Andalusia terletak di persimpangan berbagai budaya. Kondisi alamnya bagus dan potensial. Masyarakatnya berkembang dengan kondisi daratan yang berbukit sehingga melahirkan ciri dan corak yang berbeda-beda.  Perjalanan politik Islam Andalusia, secara umum, terus bergejolak. Konflik internal dan eksternal mewarnai keseluruhan sejarahnya. Walaupun demikian, Islam Andalusia mampu menghasilkan kebudayaan yang bisa disepadankan dengan Baghdad di Timur. Hal ini ditunjang oleh posisi yang strategis, perekonomian yang tinggi dan interaksinya dengan berbagai budaya. Dengan dasar ini pula, Islam Andalusia menghasilkan kebudayaan tinggi yang menembus batas-batas ras dan agama.
Sinergi antar berbagai pihak (penguasa, hartawan dan ilmuwan) tidak hanya mampu menghasilkan berbagai capaian, tapi juga menjadi penopang keberlanjutan kebudayaan itu sendiri. Capaian dari sinergi ini dalam berbagai bidang seperi politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Di antara capaian itu, ilmu pengetahuan menjadi sorotan penting karena dengan pilar itulah kemegahan Andalusia menjadi bercahaya dan harum. Mewakili Islam, Andalusia menjadi jalur penyambung estafeta kebudayaan dengan Barat. Melalui Andalusia, Barat berinteraksi dengan Islam dan kebudayaannya sehingga mampu mengantarkannya menuju pintu renaissance dan dominasi pengetahuan. Di sinilah arti penting Islam Andalusia, yaitu bukan hanya apologi untuk mengklaim orisinalitas kebudayaan tapi lebih pada menjelajahi proses menjadi kebudayaan tinggi untuk dijadikan sebagai sebuah pembelajaran.

Daftar Pustaka
al-Faruqi, Isma’il R.dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 2001
al-Hamwi, Ibn Hujjah, “Bulugh al-Amal fi Fan al-Zajal”, juz I, hlm. 3, dalam CD Maktabah al-Syamilah
al-Maghribi, Ibn Sa’id, “al-Maghrib fi halyi al-Maghrib”, juz I, hlm. 57, dalam CD Maktabah al-Syamilah
al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam  Hingga Abad XX, terj., H. Samson Rahman Jakarta: Akbar, 2004
Bosworth, C. E., the Islamic Dynasties, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980
G. S. Hodgson, Marshal, the Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku Pertama, terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 2002
Haourani, Albert, A History of the Arab Peoples, USA: Harvard University Press, 1991
Imamuddin, S. M., A Political Hisyory of Muslim Spain, Pakistan: Najmah Sons, 1969
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009
K. Hitt, Philip, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Ryadi, Jakarta: Serambi, 2008
M. Lapidus, Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: Rajawali Press, 2000
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam,terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 1995
Nasrah, “Sebab-Sebab Kehancuran Islam di Spanyol: Sebuah Tinjauan Historis”, makalah Fakultas Sastra Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Sumatera Utara, 2004 dalam e-USU Repository©2004
Sya’roni, Maman A. Malik, “Peradaban Islam Masa Bani Umayyah II di Andalusia”, dalam Maryam, Siti, dkk. (Ed), Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern,Yogyakarta: LESFI, 2009
Thomson, Ahmad dan M. ‘Ata’Ur Rahman, Islam Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan, terj. Kampung Kreasi, Jakarta: Penerbit GMP, 2004
Watt and Cachia, A History of Islamic Spain, Edinburg: Edinburg University Press, 1977





[1] Kemakmuran ekonomi masa Islam ini tidak hanya diakibatkan karena letak dan kondisi Andalusia yang potensial, tapi juga disebabkan karena etos muslim yang terus mengembangkan rute perdagangan sehingga mereka mampu membuka jalur-jalur baru ke Eropa dan Afrika. Selain itu, kemakmuran ini memberikan pengaruh yang besar pada daerah-daerah baru yang berkembang menjadi perkotaan dengan kemakmuran industri lokal.
[2] Tidak hanya itu, Islam Andalusia juga tidak terganggu dalam menelurkan hasil karya dalam bidang dan bangunan megah dengan adanya konflik tersebut.
[3] Reconquista (penaklukan kembali) adalah istilah yang dikenal luas sebagai usaha terpadu Kristen Andalusia untuk merebut kembali penguasaan atas semenanjung Iberia
[4] Muwasysyah diciptakan pertama kali oleh Muqaddam bin Mu’afa atau Muhammad bin Mahmud di Cabra, dekat Kordoba, pada awal abad X. Yaitu jenis puisi dengan lima bait atau lebih yang huruf awal baitnya mengalami pengulangan.
[5] Zajal biasanya lumrah dalam bahasa percakapan sehari-hari. Zajal berbentuk sajak lebih sederhana yang baris dari bait terakhirnya merupakan pengulangan dari hurup awal bait pertama.
[6] Hampir semua bangunan Andalusia seperti masjid Kordoba, Alhambra, Al-Zahra dll merupakan peleburan berbagai unsur ini, walaupun pada bagian dan porsi yang berbeda-beda.
[7] Mudejar, menurut sebagian pendapat, berasal dari kata ‘mudajjal’ yang berarti seorang penipu, pendusta atau curang. Sebagian lagi mengatakan berasal dari ‘mujaddan’ yang berarti seorang yang berkulit gelap, murung, patuh, merendahkan diri atau terjinakkan. Mudejar dipakai untuk menyebut orang Islam yang berada di wilayah-wilayah Kristen.
[8] Sebagian ahli melihat kurang pentingnya jalur Andalusia ini dalam mengkaji Islam. Mereka justru melihat jalur Turki Utsmani, India atau Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar