Cari Blog Ini

Entri Populer

Rabu, 12 Oktober 2011

SEJARAH LOKAL (SASAK) DAN HISTORIOGRAFI TRADISIONAL

La sendradea
Selintas Mengenai Sejarah Lokal
Apa yang disebut sebagai sejarah lokal akan selalu berkaitan dengan ‘suatu’ tempat dan ruang, sehingga sejarah lokal berarti sejarah suatu tempat atau lokalitas dengan batas-batas yang telah ditentukan. Batasan-batasan ini bisa berupa sebuah suku, desa atau kota.
Definisi mengenai sejarah lokal sendiri sebenarnya beragam. Para sejarawan menggunakan mengacu pada berbagai istilah dengan uraian-urauan berbeda. Namun, mengutip Jordan, I Gde Widja mengemukakan pengertian dasar dari aneka definisi-definisi tersebut dengan menggunakan istilah neighborhood. Istilah ini diartikan sebagai the entire of posibilities in person’s immediate environment, sehingga ruang lingkupnya bukan hanya berkaitan dengan aspek spasial semata seperti desa, kota atau lokalitas lainnya saja, namun juga termasuk pranata-pranata sosial serta unit-unit budaya yang ada dalam sebuah lokalitas.
LB. Lapian mengemukakan tiga arti penting kajian sejarah lokal: a) pengembangan penulisan sejarah yang bersifat nasional saja sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang menyangkut wilayahnya sendiri, b) menjadi koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional, c) memperluas pandangan mengenai dunia Indonesia.
Ada hubungan timbal balik antara sejarah nasional dan sejarah lokal. Wilayah kajian yang berbeda dan kadang berbenturan menjadikan keduanya sebuah kekuatan untuk membaca realitas sejarah Indonesia yang saling mengisi. Sebagai sebuah contoh, sejarah lokal, dengan pendekatan yang hanya berkisar pada dirinya, memberi kemungkinan untuk merintis permasalahan baru dalam sejarah nasional. Dengan hal tersebut, bukan hanya visi mengenai proses ke arah terwujudnya kesadaran nasional yang dapat disegarkan, namun juga dinamika sesungguhnya dari proses yang terjadi itu dapat lebih dipahami. Oleh karena itu, dorongan terhadap penulisan sejarah nasional harus diringi dengan penulisan sejarah lokal juga.
Hubungan timbal balik ini memperlihatkan arti pentingnya karena kedua saling membutuhkan. Bagi sejarah nasional penting mengetahui bagaimana perubahan tingkat nasional berpengaruh ke bawah, atau bagaimana interdependensi antara kekuasaan lokal dan pusat misalnya. Begitu juga juga perubahan sosial seperti pola birokrasi atau sistem politik di tingkat bawah. Tentunya, fenomena lokal memperlihatkan warna dan titik tekan yang berbeda. Dengan demikian, varian-varian lokal tersebut berperan besar dalam memunculkan sejarah nasional yang lebih kaya.
Namun tidak semua peristiwa daerah bisa dijadikan sejarah lokal. Oleh karena itu, untuk memudahkan, ditentukan lima tema pokok yang bisa dijadikan acuan dalam sejarah lokal: 1) dinamika masyarakat pedesaan, 2) pendidikan sebagai faktor dinamisasi dan integrasi sosial, 3) interaksi antar suku bangsa dalam masyarakat majemuk, 4) revolusi nasional di tingkat lokal, 5) biografi tokoh lokal.
Selama ini, walaupun belum mendapat perhatian seperti sejarah nasional, sejarah lokal mulai mendapatkan perhatian banyak pihak. Bermunculan karya-karya sejarah lokal atau yang membahas mengenai sejarah lokal. Corak studi dari karya sejarah lokal yang selama ini pernah dilakukan dapat dibedakan atas empat kelompok: 1) studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu, 2) studi yang lebih menekankan pada struktur, 3) studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu, 4) studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu dari masa ke masa.

Menimbang Historiografi Tradisional
Sejarah dianggap sebagai untaian pengalaman manusia pada waktu lampau yang unik dan dibingkai dalam kerangkau waktu. Untaian pengalaman ini dapat dibedakan sebagai sejarah dalam pengertiannya yang obyektif (res gestae/ as actually happened), yakni peristiwa yang sebenarnya (as event) dan sekali terjadi (eenmalig) dan sejarah dalam pengertian subyektif (historia rerum gestarum/ history of record), yakni peristiwa yang dikisahkan (as story) dan terus berulang.
Dalam proses produksi sejarah dalam pengertiannya yang subyektif, diperlukan berbagai sumber dan bukti baik berupa benda-benda (artefak) ataupun dokumen-dokumen tertuliis. Hanya dengan menggali sumber dan bukti sejarah itulah (heuristic) sebuah peristiwa sejarah (obyektif) dapat direkonstruksi dan dikisahkan kembali. Hasil rekonstruksi dan proses penulisannya ini sering disebut sebagai history as written atau historiografi.
Seorang sejarawan menuangkan tulisan dan hasil rekonstruksinya dilatarbelakangi oleh kondisi yang melingkupinya. Ia tidak luput dari keadaan zaman dan lingkungan di mana ia berada. Oleh karena itu, sebuah tulisan sejarah dipengaruhi oleh semangat zaman pada masa tulisan tersebut dihasilkan. Hal ini juga berarti bahwa historiografi sebuah zaman berbeda dengan zaman lainnya.
Pada garis besarnya, historiografi ini bisa dibedakan menjadi dua: historiografi tradisional dan historiografi modern. Historiografi tradisional dipengaruhi semangat zamannya yang dipenuhi dengan mitos, sedangkan historiografi modern tidak.
Historiografi tradisional merupakan sebuah ekspresi kultural sebagai usaha untuk merekam sejarah. Di dalamnya terdapat unsur-unsur mitologi yang sangat kental dengan peran yang terpusat pada aktor-aktor tertentu (actor centris) baik dewa atau manusia. Dengan demikian, faktor genealogi yang dibumbui mitos menjadi warna historiografi tradisional yang dominan.
Selain unsur relio-magis (mitos, wangsit dsb) diatas, historiografi tradisional juga mempunyai fungsi social-psikologis untuk memberikan masyarakat suatu kohesi, antara lain dengan memperkuat kekuasaan yang menjadi pusat kekuatannya.
Sifat dari historiografi tradisional adalah lokal tradisional. Hal ini dikarenakan karya tersebut ditulis mengenai lokalitas tertentu baik penulisnya, lingkugan sosial atau wilayahnya yang hanya terbatas pada lokalitas tertentu saja. Contoh historiografi tradisional seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu atan Babad Lombok membahas tentang sejarah diwilayah itu saja dengan menggambarkan lingkungan sosialnya disekitar penulisnya.
Penulis historiografi tradisional biasanya tidak berasal dari masyarakat kebanyakan, namun dari kalangan intlektual. Hal ini bisa dimaklumi karena pada masa itu akses pendidikan masih sangat minim. Oleh karena penulisnya berasal dari lapisan masyarakat tertentu, maka tentu saja mereka berada pada lokalitas tertentu. Biasanya mereka berada dilingkungan istana. Akibatnya, tulisan yang dihasilkan tidak hanya berlandaskan intelektualitas mereka, tetapi juga sangat kental dengan kepentingan-kepentingan istana. Para penulis ini, biasanya disebut pujangga atau literati istana, diangkat oleh penguasa/raja untuk membawa kepentingan mereka.
Dari karya-karya para penulis ini, terlihat dua hal: pertama, kontinyuitas kronologis dari manusia pertama, masa kepahlawanan (epic figures) dan kemudian dilanjutkan dengan garis keturunannya yang sampai pada para penguasa Melayu atau Jawa. Kedua, adanya beraneka legenda, mitos dan folklore yang berhubungan dengan tokoh lokal.
Kedua, hal di atas bertujuan untuk menunjukkan sebuah kontinyuitas kekuasaan dan menguatkan legitimasi kekuasannya pada sebuah wilayah yang dilanjutkan dengan mengkonsolidasikan kekuasaan agar menjadi terpusat. Untuk mempertahankannya, dimunculkanlah berbagai mitos atau legenda seperti pulung, wangsit atau tokoh-tokoh mitos yang merupakan identitas-identiitas simbolik. 

Gambaran Sekilas Sejarah Lombok
Asal kata Lombok  adalah Lombo’ yang penyebutan atau pembacaannya tidak seperti bunyi “O” dalam bahasa Indonesia atau Jawa, tapi “oo” yang dalam bahasa Sasak berarti lurus (lombo’). Penggunakan “K” diakhirnya (Lombok) mulai digunakan setelah berlalunya zaman Belanda. Sebelumnya, pada sumber-sumber lama, kata Lombok ditulis dengan Lombo’ seperti yang ada dalam Beknopt Sasaksch-Nederlandsch Woordenboek, atau ditulis Lomboq seperti pada zaman Portugis.
Sejarah pulau Lombok sebelum abad XII tidak banyak diketahui. Para ahli yang melakukan penelitian belum banyak berhasil mengungkapkan hal ini, walaupun ada beberapa kisah lontar seperti Doyan Nada, Datu Berenga atau Babad Suwung. Hal ini terutama karena sumber-sumber tersebut lebih merupakan kisah atau cerita yang bercampur dengan legenda atau mitos serta belum ditemukannya bukti-bukti pendukung lainnya yang lebih mendukung.
Pada masa Hindu-Budha juga tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah Lombok kecuali informasi mengenai keberadaannya sebagai bagian dari wilayah kerajaan Majapahit sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kretagama karya Mpu Prapanca pada abad XIV. Pada kitab yang ditemukan di Lombok ini, dalam pupuh XIV bait 3 dan 4, Lombok disebut dengan Lombok Mirah Sasak Adi. Lombok Mirah yang merupakan sebutan Lombok Barat dan Sasak Adi untuk sebutan Lombok Timur.
Sedangkan menurut sumber lokal (tradisional) seperti babad menjelaskan tentang keberadaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Lombok. Menurut sumber ini, terdapat empat pusat kerajaan-kerajaan kuno, yaitu kerajaan Suwung, kerajaan Selaparang, kerajaan Lombok dan kerajaan Mumbul. Namun sebagaimana pola dalam historiografi tradisional sumber ini tidak banyak memberikan informasi yang jelas kecuali mengenai kerajaan Selaparang yang juga meninggalkan beberapa bukti tentang keberadaannya seperti makam, silsilah, surat perjanjian dsb.
Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada abad XIV oleh Demung Mumbul atau Betara Mumbul, salah seorang keturunan Tunggul Ametung. Kerajaan ini semakin maju sehingga menjadi saingan baru bagi kerajaan Bali terutama dalam hal perdagangan. Oleh karena itu, pada tahun 1520, dan beberapa kali sesudahnya, kerajaan Bali menyerang kerajaan Selaparang namun tidak pernah berhasil.
Kerajaan Selaparang periode ini sampai awal abad XVI disebut periode Selaparang Hindu. Pada masa inilah kerajaan Selaparang menjadi bagian dari kerajaan Majapahit. Pada masa ini pula, terutama pada masa akhir, kerajaan Selaparang mampu menyatukan hampir semua pulau Lombok dalam kekuasaannya. Setelah runtuhnya Majapahit, kerajaan-kerajaan kecil seperti kerajaan Lombok, kerajaan Lombok, kerajaan Pejanggik, kerajaan Bayan dsb menjadi kerajaan yang merdeka.
Sampai akhir abad XVI hanya kerajaan Selaparang di Lombok Timur dan kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah menjadi kerajaan yang paling berpengaruh. Diperkirakan pada masa inilah Islam masuk ke Lombok. Dan periode selanjutnya dari kerajaan Selaparang di sebut dengan Selaparang Islam.
Islam masuk ke Lombok dibawa oleh Sunan Prapen atau Sunan Giri IV pada abad XVI sebagai bagian dari islamisasi yang dilakukan oleh para wali di Jawa.Pada saat itu, Sunan Prapen melakukan islamisasi di wilayah timur pulau Jawa. Babad Lombok juga menceritakan hal ini:
Hana malih putra lor sangaji. Kanging ngandel wiweka digjaya. Nama Pangeran Parapen. Punika kang hing ngutus hanglelana hing Lombok hadi, Sumbawa Bali Blata, nyelami den luhung…Yen tan elam haunting janji, den terangi lan wacana galak, tatanding helmi kesaten. Yen masih nora hanut, suma paladin lawan jurit (ada lagi putra sang Sunan yang menjadi andalan, arif bijaksana dan sakti,bernama Pangeran Prapen, itulah yang diutus ke Lombok Adi, Sumbawa, Bali, Blata mengislamkan agar tinggi suci…Bila tak mau ikuti titah, terangkanlah dengan ucapan yang tegas, ajaklah ia mengadu ilmu kesaktian. Bila masih belum ikut, apa boleh buat, perangilah).

Islamisasi yang berhasil pada abad XVI ini membawa Lombok menjalin hubungan yang erat secara politik dan ekonomi dengan kerajaan-kerajaan di timur, terutama Sumbawa dan Makasar. Sementara dari bagian barat Lombok, Bali terus berusaha menguasai Lombok yang sudah dirintis sejak periode Selaparang Hindu. Pertikaian dua kelompok ini dalam menguasai Lombok terus terjadi sepanjang abad XVII.
Pada tahun 1677 kerajaan Bali (Karangasem) menyerang bagian timur Lombok dengan didukung oleh sebagian aristokrat Lombok. Penyerangan ini mengakibatkan hilangnya kekuasaan Makasar dan jatuhnya kerajaan Selaparang. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti Bali menguasai seluruh Lombok karena baru 150 tahun sesudahnya mereka dapat menancapkan kekuasaannya secara komprehensif.
Penguasaan atas Lombok dimulai ketika mereka menguasai hamper seluruh Lombok pada tahun 1740. Pada saat itu, kerajaan Karangasem di Lombok dibagi menjadi beberapa bagian seperti Singasari, Pagesangan, Pagutan, Mataram dsb. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan pada anggota keluarga kerajaan. Sedangkan mengenai cara menjalankan kekuasaannya ke bawah diserahkan pada orang kepercayaan dan aristokrat Sasak yang kebanyakan merupakan keturunan dari raja-raja yang pernah berkuasa. Kerajaan dan penduduk Bali sendiri umumnya menempati bagian barat pulau Lombok.
Selama masa pemerintahan kerajaan Bali yang dijalankan dengan kejam dan sewenang-wenang, rakyat Sasak banyak melakukan perlawanan (pemberontakan) seperti perang Kalijaga, perang Sakra, pemberontakan Sesela, pemberontakan Gandor, pemberontakan Pringgabaya, pemberontakann Tuban dsb. Perlawanan ini selalu dapat dipatahkan karena sifatnya yang parsial dan sporadic pada daerah tertentu saja. Baru pada congah (perang/pemberontakan) Praya terjadi perlawanan yang besar dan melibatkan golongan aristokrat secara luas. Congah inilah yang mengakhiri kekuasaan Bali atas Lombok dengan bantuan Belanda.
Belanda berkuasa atas Lombok sejak berakhirnya congah Praya (1894) sampai kedatangan Jepang (1942). Penguasaan Belanda atas Lombok ini dibungkus dengan alasan bahwa rakyat Lombok belum siap menjadi pemerintahan sendiri (zelfbestuur) karena terlalu lama dijajah Bali. Oleh karena itu mereka menetapkan Lombok dibawah pemerintahan langsung Pemerintah Belanda (onder Rechtstreeks Bestuursgebied). Pada masa inilah Lombok dijadikan bagian (afdeling) dari Keresidenan Bali dan Lombok. Sementara Lombok sendiri dibagi menjadi tiga wilayah (onder afdeling), yaitu Lombok Barat, Lombok Timur dan Lombok Barat.
Dari gambaran selintas mengenai sejarah Lombok, terutama perkembangannya sampai akhir abad XIX dapat dikonseptualisasikan sebagai berikut: a.) Pengaruh kuat budaya dan agama Jawa pada abad XV dan XVI, b.) Kombinasi pengaruh politik Bali dan Makasar pada XVII, c.) konsolidasi control politik Bali sejak awal abad XVIII

Historiografi Tradisional Lombok
Eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan kekayaan suku, bahasa dan budaya menjadi tempat subur tumbuhnya rekaman masa lalu dalam bentuk tulisan seperti naskah-naskah kuno yang sering dimasukkan sebagai historiografi tradisional. Bentuk ini ada yang disebut sebagai babad, hikayat, tambo dan lain-lain. Historiografi tradisional ini ada dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Melayu, Bugis,Makasar, Jawa dan Sunda. Begitu juga dengan aksaranya yang beragam, seperti Jawi (Arab-Melayu), Pegon (Arab Sunda atau Jawa), Sunda, Jawa, Bugis, Rencong dll. Ruang lingkup pembahasan naskah-naskah ini sangat luas, mulai dari kesusastraan, agama, sejarah, hukum, adat, obat-obatan, tekhnik dll. Selain itu, yang dikomunikasikan melalui pernaskahan bukan hanya mengenai pemerintahan suatau kerajaan saja, tapi juga mengenai perekonomian, perdagangan, politik dll.
Indonesia mempunyai kekayaan historigrafi tradisional yang sangat besar. Ribuan naskah bahkan masih belum tersentuh dan tersebar di berbagai negara Asia dan Eropa terutama dibawa pada masa penjajahan dulu. Historiografi Lombok juga tidak jauh berbeda, banyak naskah yang tersimpan di Bali (tentunya dibawa selama penguasan Bali atas Lombok), Belanda dan Amerika. Sebagai sebuah gambaran, terdapat 400 naskah yang merupakan Koleksi Lombok di Universitas Leiden yang dibawa terutama oleh pejabat-pejabat Belanda, salah satunya adalah Hendrik Neubronner van der Tuuk (1824-1894) yang bertugas di Singaraja, Bali dan berkunjung ke Lombok pada tahun 1879 untuk mengumpulkan naskah. Selain itu, ada juga koleksi A. J. N Engelenberg yang ikut dalam ekspedisi milier Belanda ke Lombok pada tahun 1894. Koleksi naskahnya berjumlah 206 naskah yang pada belakang hari dipinjamkan kepada Bataviaasch Genootschap, dan kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Naskah-naskah di atas belum termasuk koleksi karya sastra lisan seperti yang tersimpan dalam Oriental Manuscript di Leiden sebanyak 508 naskah dan 200 bahan lisan yang tersimpan di bagian Arsip Perpustakaan Brynmor Jones, Universitas Hull. Koleksi naskah yang disebutkan di atas juga belum memasukkan koleksi yang ada di Perpustakan Naskah Gedong Kirtya Singaraja Bali, Perpustakaan Daerah NTB dan naskah-naskah yang masih banyak tersimpan di masyarakat Lombok sendiri.
Naskah-naskah di atas menggunakan bahasa Jawa (Babad Lombok, Babad Praya, Indarjaya dsb), bahasa Bali (Bagus Umbara, Megantaka, keputusan raja, surat-surat resmi dsb), bahasa Melayu (Perang Lombok, Paswara, Babad Lombok dsb), serta bahasa Sasak (Babad Sakra, Uweg Buleleng dsb). Sedangkan deskripsi yang digunakan sebagian besarnya menggunakan tembang naratif dalam matra macapat (enam pupuh dalam matra Jawa), yaitu dangdang gula, pangkur, sinom, mas kumambang, asmarandana dan durma.
Sastra Jawa dan sastra Bali lebih tua dalam rentang sejarah, sementara sastra Sasak lebih baru sehingga naskah-naskah yang ada lebih banyak menggunakan kedua bahasa tersebut. Sedangkan bahasa Melayu lebih sedikit jumlahnya, namun pengaruhnya sangat kuat dalam naskah-naskah yang banyak dikenal di Lombok walaupun dalam bahasa Bali atau Jawa. Hal ini terlihat dalam naskah Indrajaya yang berasal dari Hikayat Shah-I Mardan ataupun naskah Ahmad Muhammad yang merujuk pada naskah Melayu yang memperlihatkan unsur cerita yang popular di Timur Tengah dan India.

Sejarah Lokal (Sasak) dan Historiografi Tradisional
Sejarah lokal berkaitan erat dengan sebuah wilayah tertentu yang dibatasi baik secara geografis atau kultural sebagai sebuah unit atau sistem. Dalam proses pengerjaannya dibutuhkan kecermatan dan ketelitian yang lebih tajam, selain tentunya penguasaan metodologi yang matang.
Oleh karena sejarah lokal menyorot sebuah perkembangan masyarakat di wilayah tertentu, ia sangat berkaitan erat dengan sejarah sosial yang berarti harus mempertimbangkan dan memperhitungkan ikatan struktural, yaitu jaringan peranan-peranann sosial yang saling bergantung, terhadap aktor sejarah.
Selain itu, faktor-faktor tertentu yang menjadi ciri khas sebuah peristiwa harus diperhatikan dengan teliti. Faktor yang sama di beberapa wilayah misalnya, namun konteks yang menyebabkan dan memungkinkan sebuah peristiwa sangat mungkin sekali berbeda. Hal ini berarti sejarah lokal tidak hanya puas dengan permasalahan politik dan ekonomi atau hanya dengan mencari motivasi umum dan general. Tetapi lebih dari itu ikatan kekerabatan, corak kekuasaan, corak susunan stratifikasi sosial, kemungkinan adanya definisi peran yang berbeda harus menjadi perhatian penting.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah yang berkaitan dengan sumber-sumber lokal seperti tradisi lisan atau naskah kuno (historiografi tradisional). Pola pendeskripsiannya yang dibumbui oleh mitos dan lambang membutuhkan pengenalan dan penafsiran atas mitos dan lambang tersebut serta membutuhkan kemampuan untuk membedakan mitos dan lambang yang penting atau tidak. Hal ini merupakan keharusan karena tidak jarang historiografi tradisional memuat mitos yang sulit dilogikan dengan akal sehat atau tidak masuk akal.
Sebagai sebuah contoh, naskah Doyan Nada menceritakan tentang asal-usul masyarakat Sasak. Diceritakan bahwa orang-orang yang menjadi penghuni pulau Lombok pada mulanya merupakan penjelmaan dari empat puluh jin prawangsa (jin bangsawan) yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, yang tinggal di gunung Rinjani. Para jin prawangsa ini diperintahkan oleh puteri raja jin yang bernama Dewi Anjani untuk turun menghuni pulau Lombok dalam bentuk manusia. Merekalah yang dalam perkembangannya menjadi nenek moyang pertama orang-orang Sasak, yang selanjutnya menurunkan tokoh-tokoh pendiri kerajaan-kerajaan yang bertebaran di berbagai penjuru pulau Lombok seperti kerajaan Selaparang, kerajaan Pejanggik, kerajaan Bayan dsb
Sedangkan Babad Lombok menceritakan mengenai manusia pertama di Lombok sebagai berikut:
Kang kocapwong duk sedaya, wong sama Nabi Nuh, mangke hurip lampus, katulenbang king sama bumi…mung sajodo wong kari hurip, hiking mati, ponan kadamepa katah, tumiba hing pulo Lombok, kang ngujur prenahipun, tanggun Bayan namaneki, wus lepasa ta kang samudera, majit wong ngiku, kang gawe humah hing kan, lan ngulati, pamangana lan wargi, yata hamanggiha toya (dikisahkanlah umat di zaman Nabi Nuh, sekarang setengahnya mati, hanyut di seantero bumi…hanya sepasang yang masih hidup,yang samapai di pulau Lombok, yang letaknya membujur, ujung Bayan namanya. Lalu ia menepi dan turun ke darat, membuat rumah di sana, mencari makan untuk keluarganya, lalu dijumpainya air).

Cerita tersebut berlanjut sampai keluarga tersebut, yang diceritakan bersatu dengan datangnya keluarga Nabi Muhammad yang datang kemudian, membangun desa yang kemudian menjadi kerajaan. Merekalah yang terhubung secara genealogis dengan kerajaan-kerajaan besar di Lombok.
Adanya kontinyuitas kronologis ini, yang dikuatkan dengan berbagai mitos dan legenda, menunjukkan kuatnya upaya untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan yang dipegang pihak kerajaan. Di pihak lain, grass root juga membutuhkan hal tersebut (mitos dan legenda) untuk meneguhkan eksistensi mereka sebagai rakyat. Jadi, hubungan ini bersifat interaksionis yang saling membutuhkan.
Artinya, kontinyuitas kronologis dan mitos yang diciptakannya tidak bergerak di ruang yang kosong. Ia dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat dan penguasa saat itu, dipengaruhi oleh lingkungan tempat hal tersebut diciptakan serta dipengaruhi oleh corak kepentingan yang ingin dicapai. Oleh karena semua proses itu terjadi di sebuah wilayah tertentu, maka berarti dibatasi oleh budaya etnis (kulturgebundenheit) itu sendiri. Hal ini juga berarti bahwa historiografi yang dimunculkan merefleksikan pandangan-dunia (world view/weltbild) dari masyarakat tersebut.
Sebagai sebuah ekspresi zamannya, dengan muatan kepentingan tertentu di dalamnya, historiografi tradisional juga merupakan ekspresi kultural yang bertujuan untuk menyeimbangkan hubungannya dengan kosmos, yaitu tata nilai yang melingkupi masyarakat saat itu. Hal ini menjadikan historiografi tradisional harus selalu memberikan kesyahan bagi struktur yang dapat selalu mendukung tuntutan kultural ini.
Uraian di atas menunjukkan bahwa historiografi tradisional tidak hanya berarti membeberkan kepentingan kekuasaan dengan mitos yang diada-adakan. Lebih dari itu, historiografi tradisional juga mengandung ‘fakta’ sejarah yang harus lebih dahulu dengan mengurai dan memahami latar belakang serta deskripsi sosial-budaya masyarakatnya.
            Dengan demikian, menjadi mungkin juga untuk membandingkan hal tersebut dengan sumber-sumber eksternal lainnya yang berhubungan dengannya. Bagaimanapun, selain sebagai sebuah produk yang otonom, sebuah historiografi juga bisa dianggap sebagai produk sebuah sintesa dari berbagai interaksi yang dijalaninya.
            Langkah-langkah di atas memungkinkan, bahkan menempati posisi penting, dalam sebuah rekonstruksi sejarah lokal. Walaupun dengan berbagai kekurangannya, seperti kurang menitikberatkan pendekatan multidimensional, menyusun sejarah lokal dengan menggunakan hasil kajian naskah kuno mulai dilakukan sejak zaman penjajahan.
            Beberapa contoh mengenai hal ini antara lain: Critische Beschouwing van de Sejarah Banten: Bijdrage Terkentschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving (Hoesein Djajadiningrat, Haarlem- Nederland, 1913), De Kronik van Kutai (C. A Mees, 1935) atau Yogyakarta Under Sultan Mangkububi 1749-1792 (M. C Ricklefs, London- Oxford University Press, 1974). Sedangkan karya dari J. C van Leur, Indonesian Trade and Society (1955) atau karya Sartono Kartidirdjo, The Peasant’s Revolt of Banten in 1888; its Conditions, Course and Sequel: A Case Studi of sosial Movements in Indonesia (‘S-Gravenhage, 1966) merupakan contoh dari karya yang sudah menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Mengenai contoh karya yang membandingkan naskah kuno dengan sumber-sumber asing adalah karya De Graaf, de eerste Moslimse Vorstendommen op Java: Studien over de Staatkundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw (1974).
Babad Lombok, sebagai salah satu historiografi tradisional yang ada di Lombok, menyimpan banyak ‘fakta’ sejarah yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber merekonstruksi sejarah lokal Lombok. Selanjutnya akan dibicarakan beberapa topik yang dibicarakan dalam Babad Lombok yang bisa dikembangkan dengan berbagai sumber lainnya untuk menyusun sejarah lokal yang lebih komprehensif.
            Pada pupuh 226 disebutkan: hing pamatan, sami mukti suka, datan nana kurangane, wong dagang sami rawuh, lan wong Bajo hakeh, kang prapti salwir watangan hana, ta hilimbahhipun (di desa Pamatan, semua hidup sejahtera tanpa mengalami kekurangan. Para pedagang banyak yang datang, dan orang Bajo (Sulawesi) pun banyak yang berdatangan, semua barang tersedia dan diperjuabelikan)
            Penyebutan nama Bajo (Sulawesi) menunjukkan signifikansi peran para pedagang Sulawesi pada masa itu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada abad XVII pengaruh Sulawesi sangat besar terutama di Lombok Timur. Kekuatan Sulawesi ini bersaing ketat dengan kerajaan Bali yang berakhir dengan kalahnya pihak Sulawesi pada tahun 1677.
            Adanya orang-orang Sulawesi yang berkuasa secara ekonomi, kemudian dilanjutkan dengan pnguasaan secara politik oleh kerajaan Goa, tidak lepas dari keadaan perdagangan global pada saat itu.
            Kedatangan Belanda pada awal abad XVII yang secara perlahan berambisi ingin menguasai jalur perdagangan, menimbulkan kecemasan pihak kerajaan-kerajaan nusantara yang sebelumnya berperan sentral. Kerajaan Goa ingin menutup jalur perdagangan sebelah selatan dengan tujuan menghambat laju ekspansi perdagangan Belanda. Oleh karena itu, Sumbawa dan Lombok dikuasai sekaligus dengan melebarkan sayap sampai di Flores Barat.
            Jalur perdagangan di daerah Lombok dan pulau-pulau sekitarnya (Nusa tenggara) termasuk dalam zona jaringan perdagangan Laut Jawa. Nusa Tenggara ini juga terletak di antara zona-zona perdagangan yang ramai seperi Makasar dan Maluku. Oleh karena itu, Nusa Tenggara merupakan tempat persinggahan yang penting., baik perdagangan antara Malaka atau daerah Indonesia bagian barat, ataupun Maluku atau Indonesia bagian timur. Maka tidak mengherankan jika wilayah ini mendapat sorotan dalam arus perdagangan antara pedagang nusantara dan ambisi Belanda yang ingin menguasainya.
            Penguasaan atas Lombok ini baru berkurang setelah kerajaan Goa harus menyerah dengan menandatangani Perjanjian Bongaya tahun 1677. Walaupun demikian, pengaruh kuat Sulawesi cukup kuat mengakar di Lombok secara budaya atau politik. Dalam Babad Sakra diceritakan bahwa salah satu dari raja kerajaan Purwa sejak kecil berada di Sulawesi. Dia diasuh dan dibesarkan di sana atas perintah ayahnya yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa di sana.
            Selanjutnya, pada pupuh 979 dan seterusnya mulai diceritakan mengenai keberadaan seorang patih bernama Banjar Getas. Ringkasan cerita dalam Babad Lombok sebagai berikut: Patih tersebut diperangi karena anaknya tergila-gila pada patih Arya Banjar Getas. Bertahun-tahun patih tersebut tidak bisa dikalahkan kecuali setelah adanya pasukan gabungan dari para patih kerajaan. Patih Arya Banjar Getas melarikan diri ke kerajaan Pejanggik dan menjadi patih di sana. Di kerajaan ini, ia juga diperlakukan tidak adil sehingga meminta bantuan ke Bali. Gabungan pengikut patih Banjar Getas dan pasukan Bali inilah yang kemudian menaklukkan kerajaan-kerajaan besar Lombok, Selaparang dan Pejanggik. Setelah itu, Lombok dibagi menjadi dua, Banjar Getas berkuasa di bagian timur, kerajaan Bali di bagian barat.
            Tidak ada peninggalan atau bukti mengenai keberadaan patih Banjar Getas ini kecuali cerita-cerita yang disebutkan dalam beberapa babad mengenai peran pentingnya dalam percaturan politik pada masa akhir sebelum kedatangan Bali ke Lombok.
            Keberadaan dan kiprah dari tokoh ini akan didapat dengan menelusuri cerita-cerita yang umum di masyarakat dan cerita-cerita yang masih dipelihara dan dipercayai oleh anak keturunanannya.
            Rentetan peristiwa dengan lakon Banjar Getas ini terjadi pada awal abad XVIII, sebuah rentang sejarah yang tidak terlalu jauh dari masa sekarang. Namun tradisi masyarakat yang kurang mempunyai tradisi tulis menyebabkan banyak tokoh dan peristiwa yang sulit ditelusuri peran dan kiprahnya.
            Dari cerita berbagai sumber, Banjar Getas diceritakan merupakan orang Jawa Timur yang datang ke Lombok bersama pengikutnya. Tempat pertamanya adalah kerajaan Sokong dan kemudian menjadi patih di kerajaan Selaparang dan Pejanggik. Setelah pembagian kekuasaan dengan kerajaan Bali, ia mendirikan sebuah kerajaan di Lombok bagian selatan. Tidak banyak yang diketahui mengenai masa tersebut, kecuali anak keturunannya yang memindahkan kerajaan ke daerah yang sekarang dikenal dengan Praya (kini ibukota kabupaten Lombok Tengah). Anak keturunannya inilah yang berperan besar dalam mengobarkan congah Praya yang berujung pada berakhirnya penguasaan Bali atas Lombok.
            Uraian di atas hanyalah sepenggal contoh mengenai jabaran historiografi tradisional yang bisa menuntun ke arah sejarah lokal. Diperlukan usaha lebih lanjut untuk menvalidasi cerita-cerita tersebut baik dengan membandingkannya dengan tradisi lisan yang ada, dokumen dan arsip yang tersedia, ataupun dengan menggali sumber-sumber eksternal yang berkaitan. Naskah-naskah seperti Babad Selaparang, Babad Sakra atau Babad Praya menyimpan informasi kaya yang bisa dikorelasikan dengan tradisi dan kepercayaan masyarakat untuk sejarah lokal.
            Sampai saat ini, studi sejarah lokal ini masih belum banyak dilakukan di Lombok. Historiografi yang muncul belakangan lebih bercorak umum dalam memotret sejarah Lombok. Fenomena pemberontakan seperti yang terjadi di Gandor, Pringgabaya, Tuban atau Sesela belum mendapat perhatian, padahal hal tersebut sangat penting untuk merangkai suatu rekonstruksi sejarah lokal Lombok yang komprehensif.
            Terakhir, sejarah lokal sangat diperlukan untuk membantu agar generasi muda lebih mudah memahami sejarah daerahnya sendiri. Tokoh, nama tempat dan peristiwa lebih familiar bagi mereka dibandingkan dengan sejarah lainnya. Dengan demikian, diharapkan pengenalan identitas dan budaya daerah tidak luntur oleh gempuran kemajuan tekhnologi dan informasi.

Penutup
            Semua peristiwa sejarah selalu meninggalkan sisa kelampauannya untuk masa selanjutnya. Puing masa lampau itu melekat dalam sistem sosial, budaya dan tentunya bukti fisik yang masih bertahan. Inilah yang dijadikan acuan awal untuk menengok sebuah peristiwa.
            Berbagai bukti yang ada itu berbicara tentang dirinya yang berada dalam sebuah masa dan masyarakatnya. Yakni kelokalan dari peristiwa itu sendiri. Pada titik ini, sejarah lokal dan historiografi tradisional menemukan titik kesamaannya.
            Sejarah lokal berbicara tentang sebuah wilayah tertentu namun tidak cukup hanya dengan menemukan faktor umum dan prinsip universal yang ditemukannya, tapi harus menelisik lebih dalam pada ikatan kekerabatan atau peran-peran khusus dalam masyarakat. Sedangkan historiografi tradisional menceritakan sesuatu (yang khusus) dengan menggambarkannnya secara universal dan magis namun mewakili kondisi dan kepercayaan zamannya. Hal ini menjadikan historiografi tradisional berperan penting membantu proses rekonstruksi sejarah lokal.
            Ratusan bahkan ribuan naskah (historiografi tradisional) mengenai Lombok tersebar di luar negeri, luar daerah dan di Lombok sendiri. Naskah-naskah tersebut sebagian besar menunggu sentuhan untuk digali informasi lebih lanjutnya.

Daftar Pustaka 

Abdul Syakur, Ahmad, Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006

Abdullah, Taufiq, (ed), Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: UGM Press, 2005

Abdullah, Taufiq, “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional: Beberapa Problem Metodologis”, dalam T. Ibrahim Alfian dkk (ed), Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992

Kartodirdjo, Sartono, Indonesian Historiography, Yogyakarta: Kanisius, 2001

Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia, 1982

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994

Lukman, Lalu, Pulau Lombok dalam Sejarah: Ditinjau dari Aspek Budaya, tp (?), Oktober, 2005

Lukman, Lalu, Sejarah, Masyarakat dan Budaya Lombok, tp (?): Mataram,  2004

Marrison, G. E, “Penerjemahan di Lombok”, dalam Henry Chambert-Loir (peny), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malasyia, Jakarta: KPG, 2009

Parimartha, I Gde, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002

Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan daerah Jakarta, Babad Lombok, terj. Lalu Gde Suparman, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994

Rochmat, Saefur, Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu Sosial, Yogyakarta: Graha, 2009

Salam, Solichin, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya,  Jakarta: Kuning Mas, 1992


Tjandrasasmita, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta; KPG, 2009

van der Kraan, Alfons,  Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment, 1870-1940, Singapura: Heinemann Educational Books Asia Ltd, 1980

Widja, I Gde, Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah, Bandung: Angkasa, 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar