Cari Blog Ini

Entri Populer

Rabu, 26 Oktober 2011

Produksi Beras dan Perubahan Iklim di Lombok

La sendradea

Pendahuluan
Lombok saat ini merupakan salah satu pemasok beras nasional. Keberadaannya sebagai lumbung padi merupakan beban tersendiri karena adanya target yang harus dicapai untuk tetap mempertahankan capaian tersebut. Sebagai penghasil beras, Lombok sudah muncul dalam kancah perdagangan nusantara sejak abad XIX. Adanya faktor internal dan eksternal yang mendukung, seperti kesuburan tanah setelah meletusnya gunung Rinjani yang berujung pada meningkatnya produksi beras serta adanya serangan hama dan tanam paksa di Jawa yang mengakibatkan berkurangnya peredaran beras dalam perdagangan.



Pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah yang cenderung lebih bebas, yakni tanpa adanya intervensi politik yang kuat, menjadikan hasil produksi beras di daerah ini lebih berjalan tanpa tendensi apapun. Hal ini bukan berarti penguasa (kerajaan Sasak, kerajaan Karang Asem, Belanda dan pemerintah RI) lepas tangan, tapi lebih pada tumpang tindih kebijakan yang mengakibatkan kesengsaraan secara langsung.
Dengan capaiannya sebagai salah satu stok beras nasional, kini Lombok, sama seperti daerah lainnya di Indonesia, bahkan dunia pada umumnya, menghadapai persoalan perubahan iklim yang kian hari semakin memburuk. Hal ini didukung oleh posisi Lombok sendiri secara geografis yang mengakibatkan iklim semakin tidak menentu, dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.

Gambaran Umum
Nusa Tenggara Barat yang luasnya 49.312,54 . Jumlah penduduk pada tahun 2007 adalah sebesar 3.039.846 jiwa dengan kepadatan penduduk: 599 jiwa. Pulau Lombok yang merupakan bagian dari provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari 3 kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Lombok Timur dengan pusat ibu kota di Selong, Kabupaten Lombok Tengah dengan pusat ibu kota di Praya, Kabupaten Lombok Barat dengan pusat ibu kota di Gerung, dan Kota Mataram dengan ibu kota di Mataram. Pada awal tahun 2009 terbentuk satu kabupaten baru yakni Kabupaten Lombok Utara dengan ibu kota di Tanjung yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lombok Barat. Dengan demikian sejak awal tahun 2009, Pulau Lombok terdiri dari 4 kabupaten dan satu kota.
Pulau Lombok NTB beriklim tropis, dengan dua musim yaitu musim hujan yang berlangsung dari bulan November sampai Maret, dan musim kemarau yang berlangsung antara bulan April hingga Oktober dengan temperatur udara rata-rata tahunan 25,50° Celsius. Iklim di pulau Lombok tidak terlepas dari posisi keberadaannya yang diapit oleh dua benua, yakni benua Australia dan benua Asia, dan dua samudra, yakni samudra Indonesia dan samudra Pasifik. Sebaran curah hujan dan mulainya musim hujan di pulau ini relatif tidak merata. Hal ini berkaitan pula dengan keberadaan gunung Rinjani di sebelah Utara Pulau Lombok dengan ketinggian 3.726 meter dari permukaan laut (penjelasan kondisi curah hujan dan musim hujan yang berkaitan dengan posisi keberadaan pulau ini dan keberadaan gunung Rinjani. Sumber air yang utama di Pulau Lombok adalah berupa sungai, mata air, danau, embung dan bendungan (Dam). Sebagian besar sungai mempunyai daerah penangkapan hujan (DPS) yang kecil, dan mengering pada pada musim kemarau. Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum NTB bahwa jumlah sungai di Pulau Lombok adalah sebanyak 318 buah yang tersebar di 3 kabupaten dan satu kota, yakni Lombok Barat sebanyak 169 buah, Lombok Tengah 41 buah, Lombok Timur 104 buah, dan Kota Mataram sebanyak 4 buah. Ada 40 buah sungai yang mempunyai panjang lebih dari 30 km dan hanya 10 buah sungai yang mempunyai DPS lebih besar dari 200 . Untuk mengatasi kekurangan air irigasi telah dibangun bendungan skala besar seperti Bendungan Batujai dan Pengga serta lebih dari 150 buah embung skala kecil dan menengah. Sedangkan embung rakyat di Pulau Lombok berjumlah 1.976 embung yang hanya terdapat di Kabupaten Lombok Tengah (521 embung) dan Lombok Timur (1.455 embung). Kondisi geografis Pulau Lombok sangat bervariasi, yakni terdiri dari daerah perbukitan dengan pusat Gunung Rinjani yang terletak di tengah-tengah pulau, serta gugusan pegunungan di bagian selatan pulau. Selain Gunung Rinjani, terdapat juga gugusan gunung-gunung lain, yakni Gunung Mareje (716 mdpl/meter di atas permukaan laut), Gunung Timanuk (2.362 mdpl), Gunung Nangi (2.330 mdpl), Gunung Parigi (1.532 mdpl), Gunung Pelawangan (2.638 mdpl), Gunung Baru (2.376 mdpl). Dataran rendah yang merupakan pusat kegiatan budidaya pertanian yang terhampar di bagian tengah pulau memanjang dari pantai barat ke timur.
Jumlah penduduk NTB berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2003 adalah 4.005.360 jiwa. Kepadatan penduduk rata-rata mencapai 199 jiwa per dengan tingkat pertumbuhan mencapai 1,33% per tahun.
Pulau Lombok mempunyai dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau berkaitan erat dengan keberadaan pulau ini di daerah khatulistiwa yang diapit oleh benua Asia dan Australia, dan diapit pula oleh dua samudera yakni Samudera India dan Samudera Pasifik. Datang dan berakhirnya musim hujan di Pulau Lombok sangat tidak menentu. Musim hujan kadang-kadang berlangsung selama bulan Nopember s/d April, tetapi saat mulai dan berakhirnya sangat bervariasi tergantung letaknya dan fenomena alam. Misalnya, Pulau Lombok bagian Utara (di sekitar kaki Gunung Rinjani sebelah Selatan) awal musim hujan kadang-kadang jatuh pada akhir Oktober, sedangkan di Lombok bagian Selatan musim hujannya jatuh pada akhir bulan November bahkan pada bulan Desember, sementara daerah pinggir pantai di sebelah Utara gunung Rinjani awal musim hujannya dimulai pada bulan Januari. Musim kemarau berawal pada bulan April sampai dengan bulan Oktober. Bila tejadi bersamaan dengan fenomena El NiƱo biasanya Pulau Lombok mengalami kemarau panjang yang ditandai dengan jatuhnya musim hujan pada pertengahan November bahkan awal Desember.

Penguasaan, Pemilikan dan Pengolahan Tanah
Sebagaimana di daerah lain, pembukaan hutan untuk menjadi daerah baru, juga dilakukan di Lombok. Daerah yang dibuka tersebut disebut wilayah Pauman, ditandai dengan kepemilikan bersama. Semua anggota membuka hak membuka dan menikmati tanah dalam wilayah tersebut. Sebelum kedatangan Belanda (1894), ada dua periode kekuasaan yang telah memberikan corak terhadap pola penguasaan tanah. Pertama, masa kekuasaan raja-raja Sasak. Raja memegang kekuasaan sentral seluruh wilayahnya. Pada masa ini tanah merupakan sumber kehidupan utama yang digunakan untuk bercocok tanam, berladang, berburu dan menggembalakan ternak. Sebagian tanah bisa diberikan kepada para bawahan yang menggarap tanah atau yang merupakan pejabat kepanjangan tangan kerajaan. Kedua, kekuasaan raja Karang Asem Bali. Pada masa ini hampir semua kekuasaan raja Sasak mengalami keruntuhan. Seluruh wilayah dikuasai raja Karang Asem. Status tanah perorangan dipertegas sehingga orang Bali banyak yang menjadi tuan tanah, sedangkan orang Sasak hanya menjadi penggarap (penyakap).
Ketika Belanda datang, hak-hak privat atas tanah mulai diperkenalkan dan merupakan bagian dari istem hukum perdata, namun hak-hak adat masih tetap dihormati. Dengan demikian, terdapat dua sistem hukum yang mengatur masalah tanah dan membawa pengaruh terhadap pola penguasaan tanah.
Jika pada masa sebelumnya penguasaan (kepemilikan) tanah lebih mengedepankan kepentingan seluruh anggota. Yaitu, walaupun status tanah menjadi hak milik yang dapat diwariskan atau dihibahkan, namun jika ditelantarkan atau empunya keluar maka tanah tersebut kembali menjadi tanah Pauman. Sedangkan pada masa Belanda mendasarkan kebijakan tanahnya lebih bertujuan agar memperoleh kepastian hukum dan melindungi kepentingan pengusaha swasta untuk memperoleh tanah.
Tanah-tanah di atas dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada masa berladang, tanah dibuka dan ditanami selama satu-dua tahun untuk kemuddian diistirahatkan menjadi semak belukar (merau). Pada masa menetap, dikenallah petak-petak sawah. Sejak itulah orang Lombok mulai mengenal sistem pengairan baik yang menggunakan sistem irigasi atau yang mengandalkan pada curah hujan.
Hasil dari tanah atau sawah, pada sebelum penguasaan Karang Asem, lebih banyak dinikamati oleh penggarap sendiri karena kerajaan tidak memberi kewajian untuk membayar upeti. Kewajiban pada kerajaa hanya memberikan sebagian hasil tanah. Sedangkan yang sebaliknya terjadi pada masa Karang Asem. Sedangkan pada masa Belanda dengan sadar menerapka sistem upeti, yaitu dengan mendata jumlah penduduk lebih dulu, untuk dijadikan sebagai landasan menetapkan jumlah upeti yang harus diserahkan.
Jika diambil secara garis besar perjalanan sejarahnya, bisa dikatakan bahwa unsur politis tidak terlalu berpengaruh dalam hal penggunaan tanah. Hal ini lebih banyak menjadi hak rakyat. Pada masa Belanda sendiri, kebijakan tanam paksa tidak berpengaruh dalam dan besar seperti yang terjadi Jawa atau Sumatera. Penggunaan tanah untuk bercocok tanam atau sebagai tempat tinggal tidak banyak terpengaruh dengan hiruk pikuk politik.
Pada masa setelah kemerdekaan pun demikian, selain digunakan untuk bercocok tanam, tanah juga digunakan untuk membangun kantor-kantor untuk lembaga permerintahan. Selain itu, tanah digunakan untuk jaminan penghasilan aparat pemerintahan di tingkat desa, yang disebut tanah pecatu. Mengenai sistem kepemilikan, pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 memberikan penjelasan konsep yang lebih rinci dan jelas terutama mengenai bukti-bukti formal atau tertulis. Hal ini kemudian diperjelas dengan peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1973.

Lombok Sebagai Penghasil Beras
Penanaman padi secara intensif di Pulau Lombok dilaksanakan pada berbagai jenis lahan pertanian, yakni lahan kering dan lahan sawah (lahan basah). Lahan kering (upland, dry land atau unirrigated land) merupakan kawasan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air secara permanen maupun musiman, baik oleh air yang berumber dari air hujan maupun irigasi. Pengertian lahan kering di Pulau Lombok adalah sama dengan pengertian Unirrigated land, yakni lahan yang tidak memiliki fasilitas irigasi.
Lahan pertanian di Pulau Lombok terdiri atas lahan kering berupa ladang dan sawah. Sawah terdiri dari sawah beririgasi teknis, yakni sawah yang selalu memperoleh air sepanjang tahun; sawah beririgasi setengah teknis, yakni sawah yang kekurangan air di musim kemarau, dan lahan sawah tadah hujan (rainfed) yakni sawah yang irigasinya tergantung sepenuhnya pada hujan.
Tampilnya Lombok sebagai penghasil beras baru muncul pada abad XIX. Hal ini didukung oleh beberpa faktor pendukung yang lebih merupakan faktor eksternal, tentunya selain adanya peningkatan produksi beras secara internal. Pada tahaun 1820 dan 1854 terjadi hasil panen yang rendah di Jawa akibat serangan hama mentek. Kemungkinan besar hal ini menyebabkan turunnya hasil beras yang dapat di ekspor. Sementara itu dengan diterapkannya sistem tanam paksa di Jawa yang memaksa penduduk untuk menanam bahan-bahan perdagangan ekspor ke Eropa, dapat menyebabkan merosotnyanya produksi beras penduduk Jawa. Mengutip Van der Kraan, Gde Parimartha juga menyebutkan bahwa pembatasan ekspor beras yang dilakukan pemerintahan Spanyol di Manila (1830) serta adanya permintaan beras yang terus meningkat dari China, Inggris dan Australia, ikut mendukung tampilnya produksi beras Lombok mulai memegang peranan.
Hal ini nampak dari ekspor beras yang terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 1846 Lombok mampu mengekspor 16. 000 ton beras per tahun dan pada tahun 1883 sebanyak 24.000 ton beras. Pada masa Belanda, mulai diperkenalkan pembangunan irigasi dan mengembangkan tanah-tanah sawah irigasi. Oleh karena itu dapat dimengerti jika pada masa itu Belanda mendapatkan limpahan beras. Pada masa kemerdekaan sampai sekarang Lombok adalah salah satu pulau penyangga beras nasional. misalnya sampai pada tahun 2008 Lombok sangat diharapkan dapat menyumbangkan produksi padi lebih dari 70 ribu ton Gabah Kering Giling (GKG) atau sama dengan 40 ribu ton beras tiap tahun.

Perubahan Iklim
Perubahan iklim global sangat peka terhadap beberapa hal dalam sistem kehidupan manusia, yaitu (1) tata air dan sumberdaya air; (2) pertanian dan ketahanan pangan; (3) ekosistem darat dan air tawar; (4) wilayah pesisir dan lautan; (5) kesehatan manusia; (6) pemukiman, energi dan industri, dan pelayanan keuangan. Pengaruh perubahan iklim global khususnya terhadap sektor pertanian di Indonesia sudah terasa dan menjadi kenyataan. Perubahan ini diindikasikan antara lain oleh adanya bencana banjir, kekeringan (musim kemarau yang panjang) dan bergesernya musim hujan. Dalam beberapa tahun terakhir ini pergeseran musim hujan menyebabkan bergesernya musim tanam dan panen komoditi pangan (padi, palawija dan sayuran). Sedangkan banjir dan kekeringan menyebabkan gagal tanam, gagal panen.
Dampak dari kondisi ini dapat dilihat, sebagai salah satu contoh, hasil pemantauan yang dilakukan oleh Departemen Pertanian RI selama 10 tahun (1993-2002), di mana diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan seluas 220.380 hektar dengan lahan puso mencapai 43.434 hektar atau setara dengan 530.000 ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan yang terlanda banjir seluas 158.479 hektar dengan puso 38.928 hektar (setara dengan 400.000 ton GKG). Kemudian, antara Oktober 2001 hingga Februari 2002, tercatat ada 92 kejadian banjir besar di Indonesia yang menyebabkan 173.859 hektar sawah dan perkebunan tergenang, dan 2.860 hektar tambak/kolam terendam.
Perubahan iklim di suatu daerah diindikasikan pula oleh adanya variasi iklim musiman (seasonal variability). Variasi iklim musiman di Pulau Lombok ditandai oleh terjadinya kemarau panjang, musim hujan yang tidak menentu dan jangka waktunya relatif singkat sehingga sering menyebabkan gagal panen dan bahkan gagal tanam untuk tanaman pangan seperti padi, palawija dan sayuran. Dengan kata lain, variasi iklim musiman dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab utama menurunnya produksti pertanian dalam arti luas terutama produktivitas tanaman pangan, perkebunan, kehutanan dan bahkan peternakan.
Di daerah seperti Jawa, Indonesia Timur dan Sumatera bagian Selatan, bahwa pada musim-musim tertentu Osilasi Selatan berpengaruh kuat terhadap faktor-faktor iklim seperti hujan, perubahan penutupan awan yang mempengaruhi radiasi, suhu, penguapan dan kelembaban udara yang kesemuanya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kejadian iklim ekstrim seperti El Nino dan La Nina di Indonesia berpengaruh terhadap perkembangan produksi tanaman pangan. Kuatnya pengaruh ini dapat dibuktikan dengan melihat kejadian kemarau panjang dan kekeringan di berbagai wilayah di Indonesia yang bertepatan dengan kejadian El Nino.
Menurut Boer dan Meinke, pengaruh keragaman iklim mungkin akan terlihat lebih kuat di tingkat wilayah atau lokal daripada di tingkat nasional. Sebagai contoh dapat ditinjau bencana kekeringan di Pulau Lombok yang sering terjadi dan mengakibatkan bahaya kelaparan yang sangat serius. Misalnya, Team ITB (1969) melaporkan bahwa kelaparan tahun 1954 dan 1966 dicatat sebagai peristiwa yang menyebabkan ribuan orang mati kelaparan di Lombok Tengah bagian Selatan. Terjadinya kekeringan akibat kemarau panjang di Pulau Lombok pada tahun-tahun itu bertepatan dengan peristiwa El Nino, yakni sangat berkaitan dengan signal Southern Oscillation Index (SOI) atau disebut dengan Indeks Osilasi Selatan (IOS) negatif yang kuat di lautan Pasifik. Demikian juga pada tahun 1997/1998 terjadi signal SOI negatif di lautan Pasifik, sehingga pada tahun itu terjadi kekeringan dan kemarau panjang yang berkaitan erat dengan ENSO. BPTP NTB (1999) melaporkan bahwa kekeringan tahun 1997/1998 ENSO di NTB menyebabkan 8.400 Ha tanaman padi mengalami kekeringan berat dan lebih kurang 1.400 Ha diantaranya mengalami puso yang pada gilirannya mengakibatkan menurunnya produksi padi. Pola curah hujan di Pulau Lombok sering mengalami perubahan, tetapi dalam periode sejak tahun 1961 sampai dengan 2007 pola curah hujan berkisar pada bulan November, Desember, Januari, Februari dan Maret.
Para pakar klimatologi berpendapat bahwa perubahan iklim adalah perubahan rata-rata dari unsur-unsur iklim (seperti kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan dan angin), dan perubahan variabilitas iklim. Perubahan rata-rata iklim dan variabilitas iklim dapat terjadi secara beriringan. Salah satu contoh perubahan rata-rata iklim adalah terjadinya kecenderungan perubahan angka rata-rata suhu udara atau terjadinya kecenderungan perubahan besarnya curah hujan rata-rata bulanan atau rata-rata tahunan di suatu daerah tertentu, seperti di Pulau Lombok. Peningkatan suhu permukaan bumi akan berdampak terhadap perubahan iklim karena peningkatan suhu tersebut dapat meningkatkan evaporasi sehingga terjadi peningkatan uap air di atmosfier. Uap air inilah yang akan menjadi sumber hujan, tetapi tidak selalu demikian karena peningkatan evaporasi juga akan menyebabkan suatu tempat tertentu menjadi lebih cepat kering sehingga mengalami kekeringan. Perubahan rata-rata iklim sering diabaikan karena besarnya relatif kecil, namun dalam jangka waktu yang panjang, besarnya perubahan itu akan semakin dirasakan dan berdampak secara jelas. Berbeda halnya dengan perubahan variabilitas iklim yang dapat dijelaskan sebagai terjadinya perubahan pada intensitas maupun frekuensi kejadian ekstrim (misalnya El Nino dan La Nina). Misalnya, kejadian curah hujan yang jauh di atas normal pada saat terjadi La Nina, atau kejadian kekeringan pada saat terjadi El Nino sehingga potensial menimbulkan bahaya (Hazard) pada sektor pertanian tanaman pangan (padi, palawija, holtikultura) maupun tanaman perkebunan musiman seperti tembakau. Berdasarkan pengertian perubahan iklim di atas maka ada dua akibat perubahan yang menimbulkan dampak yang perlu menjadi fokus perhatian, yakni akibat perubahan variabilitas iklim dan akibat perubahan rata-rata iklim. Dampak perubahan iklim yang sering dirasakan dan dialami sebagai bencana di Pulau Lombok adalah akibat dari adanya perubahan variabilitas iklim. Contohnya adalah terjadinya banjir besar pada bulan Februari 2009 sebagai akibat kenaikan intensitas dan frekuensi curah hujan ekstrim, gagal tanam pada awal musim tanam karena rendahnya curah hujan, gagal panen karena kekeringan dan/atau karena curah hujan yang sangat besar pada saat tanaman padi dalam fase pembungaan (penyerbukan). Dampak lainnya dapat juga berupa bencana tanah longsor (erosi) karena frekuensi dan kuantitas curah hujan yang sangat besar, dan kebakaran hutan pada musim kemarau yang berkepanjangan.
Dampak perubahan iklim sebagai akibat perubahan variabilitas iklim tersebut dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat sebagai bencana yang dialami hampir setiap tahun. Sedangkan dampak sebagai akibat perubahan rata-rata iklim relatif sulit dirasakan karena besar perubahannya relatif sedikit. Kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) sebagai akibat dari pemanasan global (Global warming) dapat menyebabkan genangan air laut pada daerah-daerah pertanian di wilayah pesisir atau pantai. Jika hal ini terjadi maka peluang tergenangnya pulau-pulau kecil oleh air laut sangat tinggi. Demikian juga halnya dengan wilayah pesisir Pulau Lombok seperti di wilayah Tanjung Karang Ampenan, Kerandangan Senggigi, dan beberapa wilayah pesisir di Lombok Timur serta lahan-lahan pertanian dataran rendah terancam akan tergenang air laut secara permanen. Secara regional (skala wilayah), dampak yang sering dialami adalah terjadinya penurunan kualitas sumberdaya alam yang bergantung pada iklim, sehingga mempengaruhi sektor-sektor pembangunan ekonomi yang lainnya. Misalnya, rata-rata curah hujan tahunan di beberapa kecamatan dalam wilayah Pulau Lombok mengalami peningkatan, sementara di beberapa kecamatan lainnya mengalami penurunan, dan masa musim hujan atau musim kemarau mengalami pergeseran. Hal ini menimbulkan masalah pada peningkatan defisit air karena berkurangnya beberapa sumber-sumber mata air. Dampak akibat perubahan tersebut yang khusus pada sektor pertanian adalah terjadinya pergeseran musim hujan dan singkatnya musim hujan, sehingga mengakibatkan terganggunya ketersediaan air irigasi (water balance) karena air akan defisit untuk lahan sawah yang beririgasi. Sedangkan untuk daerah sawah tadah hujan seperti di daerah Lombok Selatan terancam gagal tanam dan/atau gagal panen. Akibatnya adalah produksi bahan pangan khususnya beras akan terancam sehingga ketahanan pangan akan terganggu.

Penutup
Sebagai penghasil beras Lombok tidak diragukan lagi keberadaannya. Sejarah memaparkan secara jelas rangkaian posisi tersebut sejak masih dikuasai kerajaan Karang Asem, Belanda dan bahkan setelah Indonesia merdeka. Keberadaannya sebagai penyandang beras nasional membuktikan hal tersebut.
Perubahan iklim yang terjadi dalam skala global telah mengakibatkan berubahnya suhu, cuah hujan dan peninkatan uap air. Hal ini berdampak pada perubahan ekstri dan tidak lazim dari pola musim pada masa-masa sebelumnya. Akibatnya, terjadi penurunan, atau paling tidak ‘kekagetan’ yang belum teratasi, hasil berbagai sumber pertanian, terutama beras.
Kelaparan yang mengakibatkan kematian dalam skala besar di Lombok pada tahun 1954 dan 1966 lebih disebabkan karena kemarau panjang yang berujung pada kegagalan panen. Ini baru salah satu dampak nyata dari perubahan iklim tersebut. Mata rantai akibat dari kondisi ini akan merembet pada persoalaan ketahanan pangan, perekonomian, kesehatan dan persoalan sosial lainnya jika akan dibiarkan terus terjadi.


Daftar Pustaka

Abdul Kappi, dkk., Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Depdikbud, 1986

Dinas Pertanian NTB, Laporan Tahunan 2006, Pemerintah Provinsi NTB Dinas Pertanian, 2007, Mataram

Dinas Pertanian NTB, Laporan Tahunan 2007, Pemerintah Provinsi NTB Dinas Pertanian, 2008, Mataram

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Lombok Barat, Penyusunan Road Map Pembangunan Tanaman pangan Kabupaten Lombok Barat, 2007

http://www.ntbprov.go.id Diakses pada tanggal 17 Juni 2011.

I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002

Kecamatan Dalam Angka se Pulau Lombok, BPS NTB, Mataram, 2007

Lalu Wacana, dkk, Sejarah Nusa Tenggara Barat, Jakarata: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978

P. Usher,Food Security in Uncertain Climate, dalam L. H. Ziska, etc (eds), Climate Change and Rice (Germany: IRRI&Springer, 1995

R. Boer and Meinke, H., Plant Growth and the SOI, in Will It Rain? The effect of the Southern Oscillatioon and El Nino in Indonesia, Department of Primary Industries Qweensland, Brisbane Australia, 2002


Tidak ada komentar:

Posting Komentar