Cari Blog Ini

Entri Populer

Kamis, 13 Oktober 2011

PAJAK DAN KEKURANGAN PANGAN PADA PERANG PRAYA (1891-1894) (KASUS BABAD PRAYA DAN BABAD SAKRA)

 La sendradea
Pengantar
Bali berkuasa atas Lombok sejak tahun 1740. Selama itu, sampai kejatuhannya pada tahun 1894, kekuasaan Bali menjadikan Lombok sebagai lumbung untuk mengeruk sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerah tersebut. Pengerahan tenaga manusia dalam membangun berbagai fasilitas kerajaan, menggarap lahan pertanian sampai pengiriman bantuan ke Bali untuk berbagai keperluan dilakukan selama penguasaan tersebut. Sedangkan pengerukan sumber daya alam jelas terlihat dalam kepemilikan tanah. Hak pemilikan bersama, yang pernah terdapat dalam masyarakat Sasak, telah diubah manjadi hak keseluruhan di tangan raja.Hal ini menjadikan raja sebagai pemilik efektif dari semua tanah yang ada di Lombok.
Dengan demikian, sebagian besar hasil hanya dinikmati oleh penguasa saja. Rakyat yang bekerja keras tidak hanya tidak mendapatkan hasil yang seimbang tetapi juga, selain itu, dibebani oleh pajak yang berat, perlakuan yang semena-mena dan kewajiban kerja paksa untuk kerajaan. Kekecewaan yang besar tidak hanya melanda rakyat kecil, tetapi juga mereka yang sebelumnya termasuk dalam kelas menengah ke atas (bangsawan, tuan tanah atau pengusaha). Inilah yang menyulut berbagai perlawanan rakyat Sasak di sepanjang penguasaan Bali tersebut, yang terbesar di antaranya adalah perang Sakra, perang Praya I,  perang Kalijaga dan perang Praya II.
Perang Praya II (selanjutnya disebut Perang Praya) yang berlangsung dari tahun 1891 sampai 1894 merupakan perlawanan rakyat Sasak terbesar yang berakhir pada runtuhnya kerajaan Bali, terutama setelah rakyat Sasak dibantu kekuatan Belanda. Jika perlawanan-perlawanan sebelumnya masih bersifat parsial dan berkelompok sehingga mudah dipatahkan, tidak demikian dengan perang Praya. Perang tersebut merupakan titik balik perlawanan yang melibatkan hampir seluruh rakyat Sasak. Perang inilah yang diceritakan dalam Babad Praya dan sedikit diulas dalam Babad Sakra.
Ringkasan Cerita Dua Babad
Kemungkinan besar Babad Praya (selanjutnya ditulis BP)ditulis ketika perang berlangsung atau mungkin setelahnya. Artinya, paling tidak, babad ini ditulis setelah tahun 1892. BP menceritakan awal mula pemberontakan pemimpin Sasak di Praya terhadap penguasa Bali. Penyulut pemberontakan adalah munculnya seorang Arab yang mengaku bangsawan Arab keturunan nabi Muhammad yang menghasut rakyat untuk melakukan perlawanan. Pada saat yang bersamaan, kerajaan sedang dilanda konflik internal perebutan kekuasaan.
Diceritakan ketika pasukan Bali mengepung masjid, pasukan yang ribuan jumlahnya tidak mampu mengalahkan tujuh pemimpin Praya yang ada di dalam masjid tersebut. Setelah berlangsung berhari-hari, pengepungan itu mendapatkan simpati warga Praya yang mengungsi sehingga mereke berbondong-bondong membantu. Kini pasukan Bali yang terdesak. Tentu hal ini sangat memalukan bagi penguasa Bali.
Pasukan Bali yang terdiri dari orang Bali dan Islam dinilai menjadi pemicu kegagalan karena pasukan yang Islam tidak bertempur sungguh-sungguh. Penguasa Bali pun merencanakan pembunuhan pemimpin Islam yang loyal kepadanya. Hal ini menyulut perlawanan yang luas dan menyebabkan hampir semua daerah mendukung perlawanan Praya. Pasukan Bali pun kewalahan.
Sedangkan Babab Sakra (selanjutnya ditulis BS)cakupan ceritanya lebih luas. Selain menceritakan perlawanan rakyat Sakra terhadap penguasa Bali, Babad ini juga berisi peperangan di kalangan internal raja-raja Bali sendiri, yaitu antara Mataram dan Cakranegara. Selain itu, Babad Sakra juga menceritakan secara sepintas perlawanan Praya sampai dengan kedatangan Belanda dan runtuhnya kekuasaan Bali. Oleh karena itu, menurut A. Teeuw, Babad ini ditulis tidak oleh satu orang, atau setidaknya merupakan ringkasan terbaru dari fragmen-fragmen terdahulu.
Perlawanan rakyat Sakra bermula dari provokasi seorang pejabat penguasa Bali dari kalangan Sasak bernama Raden Surya Jaya. Ia bukan orang Sakra, tidak jelas berasal dari daerah mana. Provokasi tersebut ia lakukan karena ketahuan menyelewengkan pajak dan upeti yang menjadi tanggung jawabnya. Perlawanan pun berkobar yang diakhiri dengan jatuhnya satu persatu kekuatan Sakra setelah sebelumnya merasa diri memenangkan peerangan.
Selanjutnya, bermula dari peperangan di kalangan raja-raja Bali yang disebabkan karena perilaku seksual menyimpang dan skandal dengan bawahannya, peperangan pun meluas dan berkepanjangan. Keadaan konflik ini terus berlangsung sampai terjadinya perang Praya yang kemudian mengakhiri kekuasaan Bali di Lombok.
Perang Praya 1891-1894
            Kedua babad menjelaskan waktu terjadinya peperangan tersebut. BP menggunakan tahun saka, sedangkan BS menggunakan tahun hijriyah.
Tuting si bagus dewasa, bulan Muharam tanggal sai’, jelo Jumat manis kocap, aku warigadian malik, rah telu tenggek sai’, isaka siya bangsit sepuluh
(Konon yang baik perhitungannya, bulan Muharram tanggal satu, wukunya warigadian, kepala tiga lenger satu, tahunnya 1810, BP: 7)
Pengawit perang desa Praya, jelo Jumat tanggal sai’, nuju sedek bulan Muharam, uku nano ulung wangi, isakaa no meni, siyu telung ngatus sepulu
(Orang Praya menyulut pemberontakan, hari Jumat tanggal satu, pada awal bulan Muharram, wukunya julung wangi, tahun 1310, BS: 709)

Pajak, Kekurangan Pangan dan Penderitaan
Penghasilan terbesar kerajaan Bali selama penguasaannya di Lombok berasal dari perdagangan, pajak tanah dan kerja korve. Tentunya, yang paling membebani adalah pajak tanah dan ini merupakan penghasilan kerajaan paling penting.
Mengenai tanah ini, penguasa Bali membagi tanah menjadi dua: druwe dalem dan druwe jabe. Druwe dalem merupakan tanah-tanah yang dikuasai oleh raja secara langsung, dengan kekuasaannya di dalam istana (dalem). Sedangkan druwe jabe adalah tanah-tanah yang tidak dikuasai oleh raja secara langsung tetapi oleh orang-orang diluar (jabe) kerajaan, yaitu rakyat Sasak dan Bali. Druwe jabe inilah yang dibebani pajak oleh kerajaan. Pada akhir abad XIX jumlah tanah ini di Lombok Barat mencapai 15.170 hektar sawah irigasi, 1.680 hektar sawah tadah hujan dan 4.370 hektar kebun/tegalan. Sementara di Lombok Timur dan Tengah, 10.750 hektar sawah irigasi, 44.400 hektar sawah tadah hujan dan 20. 110 hektar kebun/tegalan. Tidak mengherankan jika pajak tanah menjadi penghasil terbesar kerajaan apalagi dengan sistem terpusat dan kepemilikan tunggal.
Tingginya pajak yang ditarik pihak kerajaan dan tindakannya yang semena-mena terhadap rakyat Sasak sudah lama terjadi. Hal ini semakin menjadi-jadi ketika Ratu Agung-Agung Ngurah digantikan oleh Anak Agung Made. Ia semena-mena dalam menaikkan pajak sehingga rakyat Sasak memprotes dengan memboikot pembayaran pajak. Akibatnya pendapatan kerajaan sangat berkurang. Di sisi lain, kebencian rakyat semakin tinggi yang memuncak pada perlawanan Praya pada tahun 1891. Kebencian ini digambarkan dalam BP ketika sedang terjadi pertempuran:
Soroh Praya bakuwih nde’ pegat-pegat, amaq Made ne sewinih, peti pajek pade, ara’ sopo’ punggawa, taeq baru’ lengan sewinih, mula juru tepas, nyikut bangket bagelining. Haran Gusti Nengah Gengsong seile’ Pajang…betrus kena tumbak lekan mudi.
(Orang Praya berteriak tak putus-putus, amaq Made ini ambillah, upeti pajak padi, ada seorang punggawa, baru diangkat menjadi urusan pajak, yang tugasnya memuruskan, mengukur sawah berkeliling. Namanya Gusti Nengah Gengsong, Pajang…lalu kena tombak dari belakang. BP: 42,43)
Si ngamuk no muni negetah uta’ dara’, upeti pajak sawinih, banjur telut goncang, payu ya mate bangkang
(Yang mengamuk berucap makanlah ini, upeti pajak sawah, segera ia dibacoknya, lalu mati terkapar, BP: 177)

Selain karena cara memerintahnya yang sewenang-wenang, penarikan pajak yang terus meningkat juga seiring dengan perkembangan dan permintaan, terutama beras, dari luar Lombok. Pada akhir abad XIX perdagangan beras sedang mengalami kemajuan pesat, dan pesanan terus meningkat. Sampai pada tahun 1890 (setahun sebelum terjadinya peperangan), Lombok mampu menghasilkan sekitar 24. 120 ton beras pertahun, sebuah kemajuan besar dibandingkan masa-masa sebelumnya. Namun keuntungan tersebut hanya untuk kerajaan, rakyat Sasak tidak mendapatkan apa-apa selain kenaikan pajak tiap tahun, kerja paksa, penyitaan harta benda dan perlakuan kejam.
Oleh karena itu, keputusan melakukan perlawanan merupakan pilihan terakhir ketika rakyat sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Penderitaan dan kelaparan sudah demikian parahnya sehingga pilihannya hanyalah melawan. Di luar itu, tidak bisa disangkal bahwa sebelum perlawanan meluas tidak sedikit rakyat Sasak yang membela penguasa Bali. Hal ini terutama disebabkan karena tawaran kesejahteraan yang lebih. Kesenjangan ekonomi antara dua kelompok ini (Sasak dan Bali) memang lebar sehingga tawaran materi menjadi godaan kuat. Jika dalam peperangan rakyat Sasak kekurangan makanan dan bertahan dengan merampas lumbung-lumbung padi di daerah pertahanan Bali (BP: 213-217, 282, 300-302,460-462), pasukan Bali disela peperangan justru berpesta poya dengan makanan, menyembelih berbagai macam binatang, memainkan beraneka permainan dan berjudi (BP: 283-287). Di bagian lain penderitaan rakyat sasak digambarkan sebagai berikut:
Desa Praya nengka tekocapang malik, selapu’ pada susah, nasi’ kando’ jangan sakit, sisan api bwe’ ta jarah. Pade beras tutna ara’ sregem sakit, lamun masan dengan mangan, anak bagrias si nangis, nina mama tarik bariwa
(Desa Praya dikisahkan, semua bersusah hati, nasi lauk serba sulit, sisa api habis dijarah. Padi beras segenggampun sulit, bila tiba waktu makan, anak ramai menangis, laki wanita memangku, BP: 245,246)

Kekurangan makanan ini terus berlangsung selama Perang Praya. Laporan Belanda menunjukkan penderitaan rakyat Sasak yang jalan-jalannya hancur, bangunan yang runtuh, ladang tidak diolah, kelangkaan air dan sebagainya. Pada saat itu beras, jagung dan bahan pangan penting lainnya sangat langka. Oleh karena itu, selain mengirim bantuan pasukan, Belanda juga mengirimkan beras untuk mengurangi bencana kelaparan di Lombok.
Was dateng le’ Labuaji, tuan Lipring kicayang beras, le’ dengan si’ rarut lue’, pada tarik kican beras, sukur soroh rarudan, tuan lipring taek banjur, tiring isi’ budanda Sasak
(Sudah sampai di Labuaji, tuan Lipring memberi beras, kepada mereka yang mengungsi, semua diberi beras, besyukur si pengungsi, tuan Lipring lalu naik, diiringi pembesar Sasak, BS: 1039)

F. A. Liefrinck datang ke Lombok beberapa kali. Pada tahun 1886 dia dikirim untuk memantau keadaan akan berita mengenai Lombok yang kaya sumber alamnya. Kedatangan selanjutnya untuk menegoisasikan kepentingan Belanda pada penguasa Bali sampai kedatangannya bersama residen Danennbargh pada tahun 1894 untuk menaklukkan kerajaan Bali
Peperangan Belanda dan kerajaan Bali berlangsung selama berbuan-bulan di paruh kedua tahun 1894. Peperangan ini berakhir dengan menyerahnya penguasa Bali pada akhir bulan November yang sekaligus menandai berakhinya kekuasaan Bali di Lombok.
Beberapa Catatan
BP dan BS sama-sama menguraikan Perang Praya walaupun dalam gaya dan porsi yang berbeda. Babad Praya menjelaskan lebih rinci peperangan disertai suka duka rakyat Praya dalam melakukan penyerangan dan mempertahankan daerahnya. Oleh karena itu, dalam uraiannya banyak didapatkan informasi, terutama mengenai kekurangan makanan dan penderitaan yang dialami, setelah dibandingkan dengan sumber-sumber lain. Sebagaimana historiografi tradisional lainnya BP, begitu juga BS, banyak menceritakan berbagai mitos-mitos yang perlu dikaji lebih lanjut relevansinya dengan kajian sejarah. Jika dilihat dari alur ceritanya, BP hanya menceritakan bagian kecil dari apa yang dikenal sebagai Perang Praya sekarang ini. Yakni berlangsung dari tahun 1891 sampai 1894. Walaupun demikian, informasi yang dikandungnya tetap penting terutama dalam melihat perspektif rakyat Sasak terhadap peperangan tersebut.
Sementara itu, BS menjelaskan Perang Praya hanya secara sekilas. Namun pada bagian akhirnya diceritakan keputusan para pembesar Sasak untuk meminta bantuan Belanda karena keadaan yang sudah terjepit. Selanjutnya, gabungan kekuatan ini yang bersama-sama menghancurkan kerajaan Bali. Tidak seperti Babad Praya, BS lebih menitikberatkan pada fase-fase peperangan dan bagian akhir dari perang tersebut. Oleh karena itu, kedua babad ini sesungguhnya saling melengkapi dalam menceritakan Perang Praya.
Mengenai pajak yang tinggi, kekurangan pangan dan penderitaan yang dialami dalam perang tidak diceritakan dengan bahasa yang vulgar dan nyata. Hal tersebut lebih banyak muncul dalam percakapan, umpatan atau uraian singkat sebelum menceritakan cerita selanjutnya. Walupun demikian, hal tersebut menjadi petunjuk keadaan yang dialami rakyat Sasak terutama dalam menggali segi-segi di luar peperangan. Pola cerita seperti ini menjadi ciri historiografi tradisional karena tujuan penulisannya memang bukan untuk menceritakan berbagai kekurangan dan penderitaan rakyat, tetapi lebih pada deskripsi peran penguasa dan kepentingan politik lainnya. Selain pengagungan tehadap raja tertentu, historiografi tradisional dapat juga memuat kisah tentang asal usul suatu kerajaan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran sejarah diperlukan perbandingan dengan sumber-sumber lainnya.
Penutup
            Historiografi tradisional mengandung banyak informasi mengenai zamannya. Babad Praya dan Babad Sakra menunjukkan adanya informasi tersebut setelah dibandingkan dengan sumber-sumber yang lain. Dalam kedua babad yang harus dilihat sebagai kelanjutan cerita ini, kesenjangan ekonomi antara penguasa Bali dan rakyat Sasak mengakibatkan penderitaan. Hal ini diikuti oleh tingginya pajak dan perlakuan yang semena-mena. Kondisi ini menggiring rakyat untuk melakukan perlawanan walaupun dengan perngorbanan yang besar

Daftar Pustaka

Babad praya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994

Babad sakra, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994

Kraan, Alfons van der, Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment, 1870-1940, Kuala Lumpur/Hongkong: Heinemann Educational Books/ Asia, 1980

Lukman, Lalu, Sejarah, Masyarakat dan Budaya Lombok, Mataram, 2002

Parimartha, I Gde, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002

Soedjatmoko, dkk (ed), Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar, terj. Mien Djubhar, Jakarta: PT Gramedia, 1995

Wacana, Lalu dkk, Sejarah Nusa Tenggara Barat, Jakarata: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978


Tidak ada komentar:

Posting Komentar